Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menelusuri Ngarai Terbaik Dunia di Buleleng

Reporter

Editor

Ludhy Cahyana

image-gnews
Ngarai Buleleng tak seperti ngarai umumnya yang berdinding batu. Ngarai Buleleng menyediakan sungai dan hutan serta air terjun untuk diarungi. TEMPO/Wahyu Setiawan
Ngarai Buleleng tak seperti ngarai umumnya yang berdinding batu. Ngarai Buleleng menyediakan sungai dan hutan serta air terjun untuk diarungi. TEMPO/Wahyu Setiawan
Iklan
Awal Mula Petualangan

Supii Liem menggenggam erat tali pengaman yang melilit pinggang saya. Beberapa sentimeter lagi ujung depan sepatu bot saya menyentuh bibir tebing. Tak ada lagi jalan di depan saya. Di bawah sana ada kolam raksasa yang bergejolak karena bertubi-tubi dihantam air terjun setinggi 14 meter, tepat di sebelah kanan saya. Di sekeliling kami hanya batu padas yang menjulang.

"Lompat, Mas. Jangan terlalu banyak berpikir," kata Supii. Ah... enak saja dia berbicara. Beberapa saat sebelumnya, kami memang sudah tiga kali melompat dari bibir air terjun. Tapi yang tertinggi hanya tujuh meter. Sedangkan kali ini saya harus melompat dari jarak setinggi empat lantai gedung bertingkat. Seketika kaki ini rasanya tak lagi bertulang. Telinga mulai meradang. Tarikan napas juga semakin berat ketika sesekali saya mencuri pandang ke bawah.

Nyali ini menciut, tapi malu jika mundur. Di depan saya tadi, Pham Luong An, turis wanita asal Vietnam yang ikut dalam rombongan kami, berani melompat lebih dulu. Dia bahkan langsung terjun tak sampai sedetik setelah Supii menyemangatinya. Sinting! 

Apalah daya, saya memang harus terjun. Kaki kanan pun mengayun ke depan, melangkah lebar, lalu menapak di udara. Tubuh saya menderas turun, terisap oleh gravitasi. "Woooh…," saya pun berteriak merasakan tekanan darah mengalir dari kaki ke kepala. Saya masih sempat membuka kedua lengan untuk menjaga keseimbangan ketika melayang di udara.

Byuuur….

Pemandangan yang sesaat tadi gelap berubah menjadi semburat gelembung-gelembung air. Untuk sesaat tubuh saya terisap beberapa meter ke dalam kolam. Tapi, jauh sebelum sampai ke dasarnya, tubuh kembali bergerak ke atas. Rasa girang membuncah ketika tubuh ini kembali ke permukaan air. Di atas, ratusan kelelawar berhamburan dari atap-atap ceruk seolah-olah ingin ikut merayakan keberhasilan saya. Mungkin juga mereka kesal karena kaget mendengar jeritan yang menggema. 

Fotografer Tempo, Wahyu Setiawan, lebih beruntung (atau justru merugi). Dengan alasan mengamankan kamera di dalam tas punggungnya, dia tidak terjun. Wahyu menuruni tebing dengan meluncur memakai tali. Kita biasa menyebutnya flying fox. "Yuhuuu," teriakan Wahyu kembali menggaduhkan jurang yang sunyi.

Itulah secuil adegan ketika awal bulan lalu saya, Wahyu, dan An melakukan canyoning di sepanjang Sungai Banyu Mala, Desa Sambangan, Kabupaten Buleleng, Bali. Karena kegiatan ini tergolong ekstrem, kami dipandu Supii dan Abraham Firmansyah. Keduanya instruktur bersertifikat profesional dari Adventure and Spirit, penyedia layanan wisata canyoning yang bermarkas di Desa Gitgit, sebelah tenggara Desa Sambangan.

Berlima kami mengarungi tukad—bahasa Bali yang berarti sungai—bak pasukan katak siap tempur. Badan kami terbungkus setelan berbahan neoprene, semacam karet elastis mirip pakaian selam. Tali pengaman (harness) lengkap dengan satu set cincin kait (carabiner) melilit di pinggang dan paha. Belum lagi helm pengaman, sarung tangan, sepatu bot, dan tas di punggung berisi ratusan meter tali kernmantle.

Semua itu diperlukan karena, selama canyoning, kami tak hanya melompat ke sungai dari atas tebing. Di dalam jurang itu, kami juga harus berenang, menggelincir di atas batuan, dan menuruni air terjun lewat tali (rappelling). 

Terdengar mengerikan? Percayalah, saya, yang tak pernah melakukan semua kegiatan tersebut, juga sempat ketar-ketir. Begitu pula Wahyu, yang tak begitu gape berenang. Itulah sebabnya perlu waktu dua hari bagi kami sebelum memutuskan terjun ke Tukad Banyu Mala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi pesan Michael Denissot, bos Adventure and Spirit yang juga Co-Chairman International Canyoning­ Organization for Professionals, tiga hari sebelumnya, membuat kami penasaran. "Kalian harus mencoba Aling. Di sanalah surganya," kata Mika—begitu Michael biasa dipanggil. Aling yang dimaksud ialah air terjun Aling-aling, yang bakal menjadi garis akhir canyoning di Banyu Mala. 

Tukad Banyu Mala persis seperti arti namanya. Banyu adalah air, sedangkan mala—warga melafalkannya male—berarti kotor. Ranting dan daun memang memenuhi tepian sungai, berayun-ayun terbawa air menabrak dinding bebatuan. Tapi, di dalam sana, kami memang menemukan surga.

Bukan surga berisi sungai dengan pohon di kiri dan kanannya seperti dalam gambaran kitab-kitab suci, melainkan ngarai dalam dan panjang bertepikan tebing yang menjulang.

Saking tingginya, langit di atas kami hanya tampak seperti garis putih selebar jengkal tangan. Dari sana, sinar matahari menerobos masuk di beberapa titik, membentuk siluet lembah, seolah-olah tak berdaya menjangkau kami di dasar tahang.

Beriringan kami berenang pelan, menapaki batuan, dan memberosot. Beberapa kali pula saya tak kuasa menahan diri untuk menenggelamkan tubuh, berjingkat-jingkat, mencipratkan air ke udara. Jurang dengan batuan padas yang menjulang pun berubah menjadi tempat persembunyian yang sempurna untuk bertingkah sedikit kekanak-kanakan.

Tentu saja Supii dan Firman terus mengawasi tingkah polah kami. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian menginformasikan tantangan di depan. Beberapa kali rambu-rambu mereka sampaikan lewat isyarat tangan—karena deru air terjun terkadang memaksa kami berteriak jika ingin suara kami terdengar.

Ketika kami berhadapan dengan bibir air terjun, misalnya, Supii menunjukkan telapak tangan kanannya sebagai tanda stop. Tangan kirinya membuat garis virtual ke arah air sebagai tanda batas kami boleh mendekat. Baru jika tangannya melambai, kami boleh mendekat, memasang tali pengaman seperti yang dia ajarkan sebelum berangkat tadi.

Beberapa kali juga Firman menunjukkan tangan kanannya mengusap punggung telapak tangan kiri sebagai isyarat batuan licin. Kami harus berhati-hati. Mereka juga sering melekatkan kedua lengan ke arah dada, sebagai tanda kami harus sedikit menekuk kaki ketika nanti menyentuh permukaan air yang tak begitu dalam.

Seluruuut…. Byur…! Tukad Banyu Mala seolah-olah memang sengaja menyiapkan sirkuit alami siap pakai bagi kami untuk berperosotan.

Tak jauh dari situ, air terjun tak bernama setinggi 20 meter menyambut kami. "Rappelling lima belas meter, lalu lompat pada lima meter terakhir," kata Supii memberi arahan di bibir tebing. Firman sudah menunggu untuk membantu kami melompat di bawah.

Setiap kali harus rappelling, saya menghela napas dalam-dalam. Saya tak begitu percaya pada alat bantu khas para pendaki tebing, hingga menggenggam kernmantle terlalu kencang. Lengan pun pegal menahan berat badan yang memang sedikit berlebih. Turun pun menjadi lebih sulit.

Tapi tak mungkin saya menolak turun. Di bawah sana, ada kolam berukuran satu kali lapangan futsal menunggu kami. Airnya berwarna hijau zamrud yang teduh. Di sisi kanan, tampak air terjun mini dari Tukad Api berlomba mengisi telaga. Dua bongkah batu raksasa seukuran rumah tersangkut di antara dua tebing, 20 meter di atas kami.

Kami berlima terus melongok ke atas. Perasaan ngeri bakal tertimpa batu tersebut bercampur dengan pertanyaan bagaimana bisa benda sebesar itu nangkring di sana. Mungkin selama ini tebing sengaja mengapitnya erat-erat agar kita, manusia, bisa menikmati aliran sungai dan pemandangan di dalamnya. 

Setelah enam jam menelusuri tahang gelap, tibalah kami di mulut ngarai yang dari kejauhan tampak bak gua raksasa yang lebat oleh pepohonan. Di depan sana, sebuah kolam besar berukuran dua kali lapangan basket harus diseberangi. Tepat di baliknya, Aling-aling sudah menunggu.

Menuruni air terjun setinggi 41 meter itu, lengan saya semakin kelu. Tentu, kali ini saya tak harus melompat. Terlalu tinggi. Kami harus menuruninya dengan tali. Beberapa kali kaki terpeleset ketika menapaki dinding tebing sembari bersenggayut di tali. Tapi semuanya terbayar ketika kami tiba di dasar air terjun dan mengakhiri perjalanan. Kami berjingkatan, tertawa, dan saling tos. Saya dan Wahyu saling pandang, sambil menggelengkan kepala, hampir tak mempercayai keajaiban alam yang sesaat tadi kami lewati.

Selain rapeling di air terjuang, canyoning juga mengharuskan berosotan di derasnya air. TEMPO/Wahyu Setiawan

Desa Gitgit

Desa Gitgit, yang terkenal dengan obyek wisata air terjun Gitgit, terletak sekitar 65 kilometer sebelah utara Denpasar, Bali. Kira-kira 13 kilometer sebelah selatan ibu kota Kabupaten Buleleng, Singaraja. Adapun Sambangan, lokasi air terjun Aling-aling, tak jauh di sebelah barat laut Gitgit. AGOENG WIJAYA

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Harmoni Kampung Muslim di Bali, Kampung Gelgel sampai Candi Kuning

53 hari lalu

Suasana kampung muslim di Gelgel, Klungkung, Bali. Masjid berdiri tidak jauh dari pura, kehidupan warga yang berbeda agama terjalin harmonis. (Tempo/Charisma Adristy)
Harmoni Kampung Muslim di Bali, Kampung Gelgel sampai Candi Kuning

Masuknya agama Islam sekitar abad ke-14 turut mewarnai sejarah kebudayaan Bali. Kampung muslim pun tumbuh di sana, antara lain di Kampung Gelgel.


Wisata Canyoning, Olahraga yang Cocok di Musim Hujan

12 Desember 2023

Peserta wisata canyoning melakukan rappelling atau menuruni tebing dengan tali di Curug Cisalada, Bogor. Dok Canyoning Sentul
Wisata Canyoning, Olahraga yang Cocok di Musim Hujan

Salah satu kegiatan yang paling seru dari canyoning adalah rappelling atau menuruni tebing lantaran dilakukan saat musim hujan.


Canyoning, Olahraga Ekstrem tapi Seru

10 Desember 2023

Canyoning diminati masyarakat urban yang ingin mencoba olahraga petualangan baru.
Canyoning, Olahraga Ekstrem tapi Seru

Walau termasuk olahraga ekstrem, canyoning juga bisa dinikmati anak-anak.


Viral Turis Mengaku Kena Scam Masuk Air Terjun di Bali Bayar Rp300 Ribu, Berapa Tarif Sebenarnya?

17 November 2023

Air Terjun Sekumpul di Buleleng, Bali (Instagram/@pesona.indonesia)
Viral Turis Mengaku Kena Scam Masuk Air Terjun di Bali Bayar Rp300 Ribu, Berapa Tarif Sebenarnya?

Seorang wisatawan mengunggah ceritanya ketika diminta membayar Rp300 ribu untuk ke air terjun di Bali, dia merasa harga itu tidak wajar.


Masyarakat Buleleng sampaikan Aspirasi ke Gus Imin, Minta Perjuangkan Bandara Bali Utara

22 Agustus 2023

Masyarakat Buleleng sampaikan Aspirasi ke Gus Imin, Minta Perjuangkan Bandara Bali Utara

Seluruh pejuang PKB diharapkan untuk memperjuangkan kebangkitan Buleleng menjadi Kota yang maju sebagaimana dahulu.


Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Kajari Buleleng Tersangka Korupsi

1 Agustus 2023

Kapuspenkum Kejagung I Ketut Sumedana memberikan keterangan pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Kamis, 15 Juni 2023. Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan Muhammad Yusrizki sebagai tersangka baru dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyediaan infrastruktur Base Tranceiver Station (BTS) dan infrastruktur pendukung Kominfo periode 2020-2022 yang juga menjerat Jhonny G Plate. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Kajari Buleleng Tersangka Korupsi

Kejaksaan Agung menduga FR menerima hadiah senilai Rp 24,5 miliar dari pihak swasta.


Gempa Mengguncang Bali Lepas Tengah Malam, Ini Data BMKG

24 Mei 2023

Peta dan info pusat gempa di Bali pada Rabu, 24 Mei 2023, lepas tengah malam. (BMKG)
Gempa Mengguncang Bali Lepas Tengah Malam, Ini Data BMKG

Info gempa terkini dari BMKG menyebut gempa ini berpusat di darat. Warga di Bali bisa merasakannya dengan keras.


Profil Bandara Internasional Bali Utara yang Digagas Jokowi Malah Diamuk Megawati

18 Januari 2023

Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri menyampaikan kata sambutan saat meninjau progres pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sanur di Bali, Senin, 16 Januari 2023. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Profil Bandara Internasional Bali Utara yang Digagas Jokowi Malah Diamuk Megawati

Jokowi menggagas Bandara Internasional Bali Utara, justru membuat Megawati ngamuk. Ini profil bandara di Buleleng, Bali tersebut.


PT BIBU Minta Dukungan Raja Bali dan Penglingsir untuk Pembangunan Bandara di Buleleng, Setuju?

10 Desember 2022

Pertemuan antara PT BIBU Panji Sakti dengan 11 Raja Bali yang dihadiri oleh Komisaris Utama PT BIBU Panji Sakti, Jenderal Pol (Purn) Sutarman, CEO BIBU Erwanto Sad Adiatmoko, jajaran Komisaris dan Direksi BIBU, yang berlangsung di Bogor, Jawa Barat belum lama ini. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Ida Dalem Semara Putra, Penglingsir Puri Agung Klungkung, yang juga Ketua Paiketan Penglingsir Puri Agung yang ada di seluruh Bali dan Penglingsir Puri Singaraja A.A. Ngurah Ugrasena. ANTARA/HO-PT BIBU
PT BIBU Minta Dukungan Raja Bali dan Penglingsir untuk Pembangunan Bandara di Buleleng, Setuju?

Kehadiran bandara di Bali Utara diperlukan untuk melengkapi Bandara Ngurah Rai yang letaknya di selatan Pulau Bali.


Penggiat Sampah di Buleleng Mendapatkan Bantuan Sarpras dari KKP

12 November 2022

Penggiat Sampah di Buleleng Mendapatkan Bantuan Sarpras dari KKP

Bantuan diharapkan dapat menjadi stimulan bagi kelompok dan masyarakat sekitar agar dapat menggerakkan dinamika perekonomian yang berbasis pada kebutuhan masyarakat