TEMPO.CO, Tangkahan - Tak ada kesenangan yang lebih misterius dibanding saat bertemu gajah. Inilah binatang yang disebut para ilmuwan sebagai salah satu yang paling pintar. Mereka konon memahami berbagai bahasa, kebersamaan komunal, rasa berkabung, dan terima kasih. Kulitnya tebal kelabu, langkahnya mantap anggun, belalai dan gading yang tumbuh puluhan tahun, semuanya seperti membawa jejak ajaib bumi dari masa purba.
Baca: Konflik Lawan Warga, 8 Gajah di Hutan Konservasi Lahat Dievakuasi
Akhir Maret 2019, saya berkesempatan bercengkrama dengan gajah, up close and personal. Di Tangkahan, alam yang bersahaja dan sekaligus menakjubkan.
Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. Butuh tiga jam bermobil dari Medan menuju desa ini. Kami menginap di rumah tamu yang dikelola penduduk setempat, di sebelah kantor Elephant Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan, pusat konservasi gajah. Hanya 200 meter dari penginapan, kawanan gajah bermain. Lauren Hardie, kawan kami yang sudah belasan kali berkunjung ke Tangkahan, mengingatkan, “Ketemu gajah memang seru. Tapi, sebetulnya ini hanya 20 persen keindahan Tangkahan. Its like the tip of iceberg.”
Pagi itu kami berdiri di pinggir sungai, menanti dengan penuh harap kedatangan para gajah. Mereka sedang bersiap memulai ritual pagi di kandangnya, di seberang sungai. Tap, tap, tap, tap, byurrr. Dari seberang sungai tampak rombongan gajah melangkah anggun menyeberang sungai. Saya deg-degan. Ini pertama kali saya bertemu gajah begitu dekat, biasanya cuma melihat gajah dalam kerangkeng di kadang kebun binatang. Tiap ekor gajah ditemani seorang pawang atau mahout, yang duduk santai di punggung gajah. Johni Rahman, seorang mahout, duduk di punggung Theo, gajah jantan, dengan meniup seruling. Pemandangan yang surreal.
Sampai di tepi sungai, para gajah memulai ritual pagi hari. Mahout berteriak dan mengarahkan kesembilan gajah yang jadi momongan mereka. “Pup dulu. Ayo, baris!”
Rombongan gajah mandi di sungai di Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim
Theo, Agustin, Ardana, Yuni, Sari, Albertin, Olive, Eropa, dan Kristofer, nama-nama gajah ini. Eropa dan Kristofer, dua gajah balita, tak bisa diam. Mereka berdua berkejaran, menarik-narik batang pohon. Persis seperti anak balita. Butuh upaya ekstra untuk membuat gajah balita ini menuruti perintah. “Tapi, mereka binatang yang patuh dan pintar. Tak pernah mereka lupa pada instruksi kami,” kata Cece Suardana, salah satu mahout.
Adegan gajah BAB dan pipis pun tetap kami saksikan dengan gembira. Pengunjung yang aneh. Kami membahas betapa suburnya tanah yang dikaruniai sebaran tai gajah. “Baru kali ini saya happy lihat binatang pup, haha,” kata Lauren.
Baca juga: Perempuan India Rajut Sweater untuk Gajah yang Kedinginan
Beres urusan BAB para gajah, kesenangan pun dimulai. Theo, gajah jantan dewasa yang memimpin kawanan ini, masuk ke sungai. Gading panjangnya membawa aura commanding, “Hai, ayo ikuti saya.” Byurrr…! Gajah-gajah bermain di sungai. Eropa dan Kristofer berkejaran dan saling menyemburkan air lewat belalai. Lalu, para pawang memerintahkan mereka duduk dan tiduran di sungai. Mahout berteriak, “Theo, Agustin, Bertin, Sari, ayo tiduran!”
Begitu posisi para gajah sudah nyaman berbaring, barulah pengunjung bisa menyentuh dan memandikan gajah. Mahout membagikan sikat kepada kami. Tanpa sabun mandi, hehe. Sikat sudah cukup.
Saya memandikan Sari, satu dari tujuh gajah betina di Tangkahan. Mata Sari amat cantik. Bulu matanya lebat dan panjang berwarna biru. Guratan di lingkaran mata gajah berusia 35 tahun ini membuatnya tampak berkarakter. Bola matanya, coklat hitam, terasa dalam dan misterius. “Kalau lagi berahi, di atas matanya akan keluar cairan,” kata Suardana menjelaskan. “Nah, kalau sedang berahi, tamu nggak boleh mendekat. Bisa ngamuk dia.”
Kawanan gajah bersama pawangnya atau mahout. TEMPO | Mardiyah Chamim
Adalah Agustin, 50 tahun, gajah yang paling senior di Tangkahan. Bersama Medang (yang sudah meninggal beberapa tahun lalu), Agustin didatangkan dari Lhokseumawe, Aceh, pada 2003. Mereka berdua didatangkan atas permintaan masyarakat Tangkahan yang ingin beralih dari pusat pembalakan liar menuju desa ekowisata. “Kami minta dua ekor gajah, untuk membantu kami patroli, supaya pembalak hutan takut beraksi,” kata Juan Ika Sitepu, salah satu aktivis ekowisata di Tangkahan.
Pengelola Taman Nasional Gunung Leuser memenuhi permintaan ini dan mengirim Agustin dan Medang. “Saya ikut mengantar mereka dari Aceh, pakai truk,” kata Tejo Sudiono, mahout senior. “Gajah-gajah ini penurut banget. Mereka enggak repot disuruh naik truk untuk perjalanan jauh.”
Bagi banyak orang, persepsi yang terpatri di benak adalah gajah-gajah ini diselamatkan dari area konflik di Aceh, yang ketika itu berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Agustin dan Medang diselamatkan dari baku tembak yang saat itu kerap terjadi di tengah hutan. Para gajah ini diselamatkan dari ancaman kepunahan, populasi gajah Sumatera ini tinggal 1.500 di habitatnya.
Tapi, sesungguhnya yang terjadi tidaklah satu arah. Gajah dan penduduk Tangkahan saling menyelamatkan. “Tanpa gajah-gajah ini, kami mungkin masih akan terjebak pada illegal logging, masih terus menebang pohon. Mungkin sekarang hutan kami sudah nggak ada. Habis kami,” kata Ika Sitepu.
Agustin dan Medang kemudian diikuti dengan kedatangan gajah lain dari wilayah lain di Sumatera Utara. Satu per satu gajah datang, melengkapi keluarga besar CRU Tangkahan hingga kini jadi sembilan ekor. Ada lima bayi gajah lahir dalam sepuluh tahun terakhir. Kelahiran gajah adalah peristiwa besar yang disambut suka-cita para mahout. Maklum, butuh 22 bulan bagi ibu gajah untuk mengandung, dengan perawatan yang ekstra. Gajah yang hamil tak boleh dinaiki punggungnya, supaya tak menanggung beban berat.
Sayangnya, tiga di antara bayi gajah meninggal di usia balita. Mereka bernama Tangka, Namo, dan Amelia. “Kena virus herpes yang khusus menyerang gajah,” kata Tejo. “Penyakit ini belum ada obatnya. Pabrik obat malas memproduksi, mungkin karena enggak menguntungkan.” Kristofer dan Eropa, dua balita gajah, kini jadi kesayangan semua mahout di Tangkahan.
Saat ini para mahout sedang menanti kelahiran satu bayi lagi. “Sedang kami amati. Apakah Ardana atau Sari yang hamil, karena tak mudah juga memastikan kehamilan gajah,” kata Tejo. Setiap tiga bulan, para gajah ini menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk dengan memasukkan alat melalui dubur mereka. Baik untuk periksa kehamilan atau periksa kesehatan pencernaan karena sistem pencernaan gajah tergolong sensitif.
Waktu bercengkrama habis. Gajah-gajah harus kembali ke hutan. Bersama pawangnya, mereka akan berjalan menyusuri sungai dan hutan Tangkahan. “Saatnya berterima kasih pada para gajah. Silakan dibagikan makanannya,” kata para mahout. Pisang mentah dan potongan labu diangsurkan pada kami. Wow, rasanya luar biasa ketika pisang dan potongan labu itu berpindah dari tangan saya ke mulut dan belalai gajah. “Terima kasih, Sari. Terima kasih, Eropa, ini makanan kalian.”
Entah, apa yang dirasakan para gajah ini. Semoga mereka menikmati saat badan dan kepalanya disikat pawang amatir yang serba canggung ini. Semoga mereka menikmati pisang dan labu. Perlahan, mereka berjalan menuju sungai, hendak menyeberang ke kawasan hutan. Lalu, hei, Sari mengangkat belalainya dan byyuurrr…saya disemprot. Belalai itu kemudian mengelus pipi saya. Suardana berkata, “Ini cara Sari berterima kasih.”
Artikel lainnya: Waspada Naik Gajah, Penyakitnya Bisa Menular pada Manusia