Erni sengaja menerakan Incung pada karyanya mungkin karena ingin menjaga kekayaan budaya itu. Dia lalu menunjukkan selembar kain batik berwarna ungu, yang sebagiannya tertera Incung dan sebagian lagi motif dun sirih.
“Makna tulisan Incung di situ sesuai dengan motif. Misalnya pada motif batik bunga kopi, maka ada tulisan Incung berbunyi bunga kopi, begitu juga pada motif yang lainnya,” Kata Erni Yusnita. “Akasa Incung-nya saya percantik, tanpa mengubah makna.”
Tiap bulan rumah batiknya memproduksi sekitar 100-200 kain batik cap dengan motif aksara Incung. Ia menciptakan sendiri pola motifnya berdasar kekayaan budaya Kerinci.
Simbol-simbol budaya yang ia adopsi untuk batik, antara lain, keris, carano (tempat sirih), rumah larik, jangki, bendera Karamentang. Juga ia menyerap motif dari tumbuh-tumbuhan, seperti bunga teratai, bunga kopi, kantung semar, keluk paku dan pucuk rebung.
Erni menjelaskan karakter pembeli di Jambi adalah tidak ingin mengenakan batik dengan motif dan warna sama yang dipakai orang lain. “Jadi saya harus rajin membuat motif baru.”
Selembar kain batik itu dijual dengan harga beragam, tergantung pengerjaannya. Satu set kain batik dengan selendang lebar untuk tengkuluk (selendang penutup kepala khas Kerinci) dijual antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta.
Untuk kain berukuran 2 meter x 115 cm dengan pewarnaan sintetis, harganya Rp150-300 ribu. Sedangkan batik dengan pewarnaan alam harganya berkisar Rp300-700 ribu perlembar. “Batik tulis dengan pewarnaan alamlah yang lebih banyak dibeli turis asing. Kalau orang kita lebih suka yang warnanya cerah,” kata Erni.
FEBRIANTI (Jambi)