Kali Jenes yang melintas di Laweyan menjadi jalur transportasi utama untuk mengangkut komoditas yang dihasilkan. Dulunya, sungai itu cukup besar dan dalam sehingga bisa dilalui oleh rakit pengangkut barang. Rakit-rakit itu bersandar di sebuah bandar yang ada di Laweyan, Bandar Kabanaran, yang beroperasi hingga akhir abad 19.
Kampung Laweyan tetap eksis meski era Kerajaan Pajang telah usai dan digantikan oleh Mataram Islam. Masyarakatnya mengembangan perekonomian secara mandiri tanpa ada campur tangan dari pemerintahan kerajaan. Kekayaan para saudagarnya menyaingi keyaan para bangsawan.
Lalu sejarah berjalan seperti gelombang laut, ada pasang dan surut. Begitu juga usaha batik Laweyan mengalami masa keemasan dan pernah pula masa kelam.
Tetapi hari ini Laweyan bagai sedang berada di pasang naik. Gunawan Muhammad Nizar, salah satu tokoh masyarakat di Laweyan, mengatakan saat ini ada belasan pabrik batik yang beroperasi. Sebagian pengusaha juga membuka usaha perancangan busana hingga garmen. Ada pun, “Gerai batik mungkin sudah lebih dari seratus,” katanya.
Batik yang dihasilkan merupakan batik gaya Solo yang dikenal dengan kehalusan dan kerumitan motifnya serta memiliki warna soga atau gelap. Meski batik berkembang berabad-abad, tidak ada motif baku yang menjadi acuan atau melegenda di kampong batik itu.
“Sejak dulu pembatik membuat motif sesuai permintaan pasar,” katanya. Mereka membuat motif-motif yang disukai masyarakat dan membuat motif baru saat pasar sudah mulai jenuh. “Motif batik di Laweyan sangat dinamis,” katanya.