Sebagai kampong batik yang sudah tua, cukup banyak jejak budaya yang bisa ditelusuri hari ini. Menyambangi tempat-tempat tersebut, bisa melengkapi wisata belanja batik yang kini berkembang di Laweyan.
Salah satu jejak itu adalah kompleks pemakaman yang tidak seberapa luas dan berada di tepi Kali Jenes, di sisi paling barat Kampung Laweyan. Pemakaman itu sudah sangat tua. Tokoh yang dimakamkan di tempat itu, Ki Ageng Henis, dipercaya wafat pada tahun 1503.
Di sebelah makam, terdapat sebuah masjid yang tidak kalah tuanya. Dulunya, masjid itu merupakan sebuah pura milik Ki Beluk, tokoh kampung setempat yang kemudian di-Islam-kan oleh Ki Ageng Henis.
Ki Ageng Henis merupakan tokoh yang menurunkan raja-raja di Jawa. Dia merupakan kakek dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Kompleks pemakamannya berada di Kampung Laweyan, salah satu perkampungan padat di Kota Surakarta yang lebih tenar dengan sebutan Kota Solo.
Jejak sejarah itu menunjukkan bahwa usia perkampungan Laweyan jauh lebih tua dibandingkan Keraton Kasunanan Surakarta yang didirikan Paku Buwana II pada 1745. “Kampung itu merupakan ibu kota Kerajaan Pajang,” kata pengajar sejarah Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko.
Dia bahkan meyakini bahwa perkampungan itu sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam Kitab Negarakertagama, tertulis cerita bahwa Hayam Wuruk pernah berkunjung ke Kadipaten Pajang. “Pada saat itu Kadipaten Pajang sudah ada dan merupakan bawahan dari Majapahit,” katanya.
Sebagai ibu kota sebuah kerajaan, Laweyan menjadi sebuah permukiman yang dinamis dan memiliki perekonomian yang berkembang. Industrinya bergerak untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya, termasuk sandang. Mereka juga menjalin relasi dagang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.