TEMPO.CO, Surakarta - Menyusuri kampung Laweyan lebih nyaman dengan berjalan kaki, paling tidak bersepeda motor. Jalannya cukup sempit di kampung batik ini, dan diapit tembok tinggi di kanan-kiri. Beberapa gang bahkan tidak muat untuk dilalui mobil sedan sekalipun.
Gerai-gerai batik ditata dengan nuansa vintage bagai menyusuri museum. Kesan itu didukung oleh gaya bangunan art deco yang dipertahankan. Konsep itu membuat suasana kampung Laweyan menjadi hommy, tidak seperti berkunjung ke toko biasa.
Batik Putra Laweyan adalah salah satunya. Gerai itu tertutup dengan tembok tinggi dari luar. Setelah melalui gerbang yang terbuat dari papan kayu tebal, keindahan rumah kuno yang dimanfaatkan menjadi gerai batik baru terlihat.
Beberapa set kursi jengki ditata untuk tempat istirahat pembeli yang telah capek berkeliling Laweyan. Jika haus, bisa memesan minuman yang pernah populer di era 80-an, seperti Limun Sarsaparilla maupun minuman Temulawak. Tempat itu dinaungi pohon manga yang besar sehingga terasa teduh dan segar.
Suasana kontras terasa di bagian belakang gerai yang menjadi lokasi produksi batik. Uap malam –lilin untuk membatik- mengepul bercampur dengan uap air panas untuk mencelup batik sehingga udara terasa agak pengap.Suasana tempat bekerja para perajin Cap Batik di perkampungan Premulung, Laweyan, Surakarta, 5 Juni 2015. TEMPO/Bram Selo Agung
Baca Juga:
Enam pembatik perempuan terlihat cukup nyaman menorehkan canthing berisi malam pada hamparan kain yang terpasang di gawangan. Beberapa pemuda dengan telanjang dada mencelupkan kain yang telah diwarnai untuk meluruhkan malamnya. Bau khas pewarna kain terasa menyengat hidung.
Putra Laweyan merupakan salah satu dari sekian banyak usaha batik yang ada di Laweyan. Usaha batik itu berlangsung turun-temurun, meski juga beberapa kali berganti brand. Beberapa jejak sejarah menunjukkan bahwa Laweyan memang sudah sejak berabad-abad silam menjadi penghasil batik.