Sekaten Tanpa Pasar Malam, Masih Ramai?
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Ludhy Cahyana
Sabtu, 2 November 2019 09:15 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Tradisi Sekaten pada awalnya memang tak dipadukan pasar malam. Inilah salah satu sebab yang membuat Sultan Hamengku Buwono X mengembalikan Sekaten ke bentuk aslinya. Selain itu, perayaan Pasar Malam membuat sampah bertumpuk dan merusak rerumputan Alun-alun Utara.
Sekaten tanpa Pasar Malam mulai dibuka Jumat petang, 1 November 2019. Rencananya, Pasar Malam hanya dihelat dua tahun sekali bersamaan dengan Sekaten. Dalam pantauan TEMPO, tak ada lagi suasana riuh komidi putar atau bianglala, parkir yang menyemut hingga tengah jalan, kemacetan sepanjang jalan menuju area juga dentum musik dangdut bercampur lagu wahana permainan.
Di depan Bangsal Keraton hanya terdapat sebuah instalasi tulisan Sekaten. Empat bergada menyambut pengunjung di pintu masuk. Suasana Sekaten kali ini memang berganti lebih kalem -- jika tak bisa disebut sakral. Parkir kendaraan hanya tertata di seputaran kompleks Keraton, pengunjung tak terlalu berjejalan dan alunan gamelan dari Bangsal Keraton kental terasa.
Raja Keraton Yogyakarta yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta istri dan para putri juga menantunya, datang menghadiri pembukaan pameran Sekaten yang digelar di Keraton Yogyakarta itu.
Sultan dan keluarga begitu datang langsung menuju Bangsal Pagelaran Keraton untuk menyaksikan penampilan tari spesial Beksan Guntur Segara, sebelum membuka resmi pameran.
Beksan Guntur Segara merupakan salah satu tari klasik Gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sumber cerita dalam tari ini adalah kisah Panji, yang menggambarkan peperangan antara Raden Guntur Segara melawan Raden Jayasusena.
Legenda menyebutkan Raden Jayasusena menghadap Raja Jenggala dan memohon agar dirinya diakui sebagai putranya dari ibu Dewi Wandansari. Raja Jenggala belum mau mengakuinya sebagai putra, sebelum Raden Jayasusena dapat mengalahkan putra Raden Brajanata yang bernama Raden Guntur Segara.
Keduanya sama kuatnya dan tidak bisa saling mengalahkan, hingga akhirnya Raja Jenggala mengakui Raden Jayasusena sebagai putranya. Beksan Guntur Segara ini memiliki spirit keprajuritan yang tinggi dan mengajarkan untuk tidak mudah menyerah. Pada tarian ini, digunakan pula properti berupa gada dan tameng.
Dalam sambutan pembukaannya, Sultan mengatakan sejatinya Sekaten adalah wujud tradisi dinamika Jawa yang religius, yang diberi aksentuasi dan warna khas, "Artinya ciri religius Sekaten tetap dipertahankan, bahkan digali akar tradisinya," ujar Sultan.
Sultan mengatakan wadah dan isi Sekaten dalam tata ruang bentuk anjungan atraksi kegiatan ekspresi budaya, penyelenggaraannya diharapkan tampil dalam sosok yang selalu baru sebagai ekspresi peradaban yang transformatif.
Oleh sebab itu Sekaten diharapkan menjadi wahana dialog peradaban secara luas, yang merangsang inspirasi tumbuh mekarnya kreativitas masyarakat. "Sehingga bukanlah gebyarnya yang dituju. Melainkan harus memiliki kedalaman makna spiritual sarat bobot kultural dan punya dampak sosial yang luas," ujarnya.
Dalam pembukaan itu, Sultan pun juga turut mengamati pameran berbagai hal yang mengusung tema Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman. Pameran yang berlangsung 1-9 November 2019 ini berlokasi di Kompleks Sitihinggil Keraton Yogyakarta.
Segala jenis koleksi yang dipamerkan dan pementasan yang digelar, berkaitan dengan tema tersebut. Pameran Sekaten, sejatinya merupakan bagian dari pelaksanaan rangkaian Hajad Dalem Garebeg Mulud.
Prosesi akan dimulai dengan Miyos Gangsa sebagai tanda dimulainya Sekaten pada tanggal 3 November, dilanjutkan Numplak Wajik pada 7 November, lalu Kondur Gangsa pada 9 November dan Garebeg Mulud pada 10 November.
PRIBADI WICAKSONO