TEMPO.CO, Jakarta - Menunggang gajah di kebun binatang di kota sudah terlalu biasa. Mainstream, kata orang. Tidak biasa itu adalah kalau bisa menunggang gajah di lahan gambut. Apalagi jika dilakukan sembari belajar mengenai lekuk-lekuk manajemen pengelolaan air di area yang rawan terbakar tersebut. Seperti yang saya lakukan pada 24 Februari lalu saat mengunjungi Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dalam perjalanan sehari penuh itu saya dan rombongan dari Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Sumatera Selatan, akademisi dari berbagai kampus, dan praktisi lingkungan tidak sekadar berkeliling bersama gajah. Kami juga berkesempatan melakukan penghijauan, mengenal potensi lahan gambut beserta persoalannya, memahami kondisi sosial ekonomi petani sawit dan karet, serta belajar manajemen air di lahan gambut.
Untuk menuju Padang Sugihan kami berangkat dari Benteng Kuto Besak, Palembang, lalu melintasi Sungai Jalur yang merupakan anak Sungai Musi. Berperahu selama hampir 90 menit, kami mampir di warung terapung di daerah Muara Padang. Di sana kami menyantap pempek beserta cuka, roti, dan pisang goreng hangat, ditutup dengan menyeruput secangkir kopi dan teh. Tidak lama kami di situ, hanya 10 menit. Robiyanto H. Susanto, guru besar bidang manajemen air dan rawa gambut dari Universitas Sriwijaya yang pagi itu kami lantik menjadi ketua rombongan meminta peserta kembali ke speed boat untuk melanjutkan perjalanan ke Padang Sugihan. "Harap kembali ke kapal kita sudah ditunggu gajah," kata dia.
Rombongan bergegas meninggalkan warung kopi yang berdinding kayu dan beratap seng tersebut. Seorang peserta dari Jakarta yang belum sempat menghabiskan kopi pahitnya, tergopoh-gopoh menaiki kapal. Namun, dia masih sempat menyelamatkan sepotong pisang goreng di tangannya. Dua speed boat bertenaga 200 PK kembali membelah air sungai yang berwarna kecokelatan tersebut. Persis pukul 10.00 rombongan tiba di Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan.
Seekor gajah yang berusia sekitar dua tahun menyambut kami. Awalnya, anak gajah yang belum diberi nama tersebut tampak kurang antusias melihat kami. Ia tetap bersantai menikmati embusan angin di bawah rimbunnya pohon akasia. Dia baru sudi bangkit ketika kami menjahilinya.
Hilang malasnya, gajah muda itu mulai menampakkan kelincahan. Ekor, belalai, bahkan kuping ia kibas-kibaskan sebagai tanda siap bermain. Keramahannya membuat kami gemas. Sekelompok dosen perempuan dari Universitas IBA Palembang dan praktisi pertanian serta lingkungan dari Bogor tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dengan berfoto bersama si gajah. Seorang pengunjung berusaha memeluk badan gajah yang beratnya hampir satu ton itu.
Selanjutnya: Pohon peneduh untuk kawasan yang rusak