Setelah bercengkrama beberapa saat, kami menunggangi gajah yang usianya lebih tua. Gajah itu membawa kami berjalan sejauh satu kilometer di sepanjang tepi sungai hingga memasuki area rawa gambut. Gajah kedua ini juga belum memiliki nama. Jumiran, Kepala Sub Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan mengatakan masih menunggu penamaan resmi dari kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan di Palembang.
Dia menjelaskan, pengunjung juga dapat ikut memandikan dan mengembalakan binatang yang dilindungi itu. Lokasi pemandian ada di jembatan 3, 4, dan 5. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena turunannya tidak terlalu curam sehingga aman bagi pawang dan gajah. Kedalaman airnya juga sesuai dengan postur gajah. “Kami tidak mematok tarif,” kata Jumiran perihal ongkos bercengkerama dengan gajah Padang Sugihan.
Pusat pelatihan seluas 86.932 hektare ini memiliki 30 ekor gajah terlatih yang terdiri dari 8 gajah jantan dewasa, 16 gajah betina dewasa, 4 ekor anak jantan, dan 2 ekor anak betina. Sementara di luar kawasan tersebut masih ada sekitar 23 ekor gajah liar. Gajah-gajah jinak tersebut dibina oleh setidaknya 40 orang pawang.
Ketika yang lainnya sedang bersukaria bersama gajah, sebagian peserta memilih menanam pohon peneduh yang juga berfungsi sebagai penjaga daerah aliran sungai. Ketua Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Sumatera Selatan, Syafrul Yunardy menuturkan, penanaman pohon peneduh penting dilakukan mengingat sebagian besar daerah aliran sungai di provinsi ini rusak. Menuju lahan gambur Sugihan (Tempo/Parliza H)
Puas menikmati pemandangan rawa gambut dari punggung gajah dan menanam pohon di Padang Sugihan, ketua rombongan mengajak peserta mampir di Desa Sidomulyo yang berjarak selemparan batu dari Pusat Latihan. Meskipun jaraknya sangat dekat, kami harus menumpang kapal lagi untuk menyeberang ke perkampungan trasmigran asal Pulau Jawa itu. Dari pinggir sungai, sepanjang mata memandang, terhampar perkebunan sawit dan karet milik warga. Buah sawit segar yang berwarna kuning kemerah-merahan bertumpuk di sana- sini.
Ngadino, warga yang dituakan di kampung tersebut menuturkan, pemerintah menyediakan lahan seluas dua hektare untuk petani, ditambah pekarangan seluas seperempat hektare. Perkampungan yang dulunya merupakan persawahan tersebut tampak sepi karena sebagian besar warganya sedang berada di kebun.
Karlin Agustina, Rektor Universitas IBA Palembang, mengibaratkan perjalanan ini dengan kuliah kerja nyata. Peserta, kata dia, belajar tentang pertanian, manajemen air, hingga sosial-ekonomi pertanian langsung dari praktisinya, sambil berwisata. Dalam tur ini pula peserta dapat menimba ilmu praktis sebagai pengayaan ilmu yang didapat di kampus dan literatur.
Belajar pertanian belum selesai sampai di situ. Rombongan lalu diajak mempelajari manajemen air di sebuah perkebunan sawit milik perusahaan swasta di Sungai Biyuku, Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir.
Menjelang sore sebelum pulang ke Palembang, peserta berkesempatan mengunjungi perkebunan akasia milik PT Bumi Andalas Permai. Di perkebunan tersebut, peserta menyaksikan tata kelola air melalui pembuatan sekat kanal. Di perkebunan itu juga peserta dapat mempelajari manajemen penanggulangan kebakaran di lahan gambut dengan cara tetap menjaga kebasahan lahan.
Parliza Hendrawan (Banyuasin)