TEMPO.CO, Jakarta - Hanya dalam setahun, 1808-1809, jalan desa sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer, Jawa Barat, ke Panarukan, Jawa Timur, yang tadinya terputus-putus, tersambung. Tak mungkin pekerjaan itu terlaksana tanpa tangan besi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Lidah orang Indonesia dulu memelesetkan pangkat perwira tingginya, maarschalk (marsekal), sebagai “mas galak”. Itu panggilan bagi Marsekal Herman Willem Daendels. Wataknya keras. Ia tak hormat kepada raja-raja Yogyakarta dan Surakarta, apalagi bupati-bupati dan residen-residen. Terpengaruh gelora Revolusi Prancis, ia ingin memberangus feodalisme masyarakat tradisional kita. Pada 5 Mei 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 itu mengeluarkan instruksi berisi sepuluh pasal mengenai pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg).
Potongan pertama menghubungkan Buitenzorg (Bogor)--lokasi istananya--ke Cirebon. Ternyata pembangunan jalan tidak semulus hitungannya. Pembangunan ruas Megamendung hingga Puncak, Sungai Cikandil, dan Cadas Pangeran memakan banyak korban kuli yang tewas diterkam hewan buas, kelelahan, atau kena penyakit malaria. Kas pun telah terkuras habis.
Tapi itu tak membuat niatnya surut. Jalan modern trans-Jawa dianggapnya penting. Ia tak peduli korban berjatuhan. Ia bahkan lalu mengumpulkan 38 bupati se-Jawa dan memerintahkan mereka melanjutkan proyek pembangunan jalan dari Cirebon ke Semarang, terus ke Surabaya, dan berakhir di timur Jawa: Panarukan. Pengerjaannya dibebankan kepada warga daerah masing-masing melalui kerja wajib.
Jalan penuh cerita penderitaan itu kini bermetamorfosis menjadi jalan industri--urat nadi ekonomi Jawa. Ia masih menjadi sebuah jalan trans-Jawa satu-satunya. Memperingati potongan pertama penuh darah yang dikerjakan Mei 1808 itu, Tempo menyusuri ruas-ruas Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Tempo mengunjungi kawasan wisata dan tempat kuliner serta menggali kisah-kisah menarik di sepanjang Jalan Daendels.
TIM TEMPO