TEMPO.CO, Jakarta - Wagiman masih mengingat kejadian 35 tahun lampau. Ketika dia hendak melihat kerbaunya di malam yang sudah larut. Tak seperti biasanya, kerbaunya meronta dari ikatannya, seperti ingin dilepaskan. Tingkah kerbaunya ini membuatnya curiga. Dia pun melihat sekeliling rumahnya, yang berada di belakang Sekolah Dasar Kebon Dalem, Gringsing, Batang, Jawa Tengah.
Dia melihat seorang pria ditutup matanya diturunkan dari sebuah mobil putih. Pria itu langsung dinaikkan lagi ke mobil. Rupanya orang-orang yang menurunkan pria itu melihat Wagiman. Tak berselang lama, warga Kecamatan Gringsing, yang berada di kawasan hutan jati Alas Roban, heboh oleh penemuan mayat di beberapa tempat.
Patimah, 60 tahun, asal Desa Sentul, Gringsing, menceritakan penemuan tubuh yang tergeletak di tepi sungai. Waktu itu dia bersama suaminya sedang menuju Sungai Kuto di dekat rumahnya. Dia melihat sesosok tubuh laki-laki di tepi sungai. Badannya masih bergerak.
"Didekati suami saya ternyata masih hidup. Orang itu bilang, 'Tolong, saya masih ingin hidup,'" ujar Patimah menirukan.
Menurut Patimah, bukan sekali itu saja dia menemukan mayat di sekitar desanya, yang masuk kawasan Alas Roban. Ayahnya salah seorang yang ditunjuk untuk menguburkan mayat-mayat tersebut. "Bapak saya ikut mengubur. Dia pasti bilang, 'Kasihan orang-orang ini, yang sebelumnya sehat bugar sekarang harus dikubur,'" tutur Patimah.
Mayat-mayat itu adalah mereka yang dianggap sebagai preman. Pada 1980-an, beberapa wilayah di Indonesia digemparkan oleh pembantaian para preman. Kejadian yang dikenal dengan sebutan penembakan misterius atau petrus itu menggunakan kawasan Alas Roban sebagai salah satu tempat eksekusi.
Kecamatan Gringsing tak hanya sekali itu dihebohkan oleh mayat yang bergelimpangan. Patimah masih ingat peristiwa serupa pernah terjadi saat ia kecil. Dulu, sekitar 1965, tak jauh dari rumahnya, terdapat tanah lapang yang digunakan untuk bermain bola. Di tengah lapangan, beberapa orang disuruh berdiri berjajar. Suara letusan berkali-kali memekakkan telinga. Satu per satu barisan orang itu berjatuhan.
Patimah mengenali beberapa perempuan di antaranya. Mereka anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. "Di sini dulu ada base camp Gerwani," ucap Patimah. "Saya sering datang untuk bermain, tapi selalu dimarahi Bapak kalau ketahuan. Jangan dekat-dekat mereka, kata Bapak."
Tak cuma jadi tempat pembuangan korban petrus, Alas Roban--yang punya kawasan hutan seluas 20.416 hektare--juga dibelah oleh jalan yang sering disebut sebagai "jalur tengkorak". Di jalan yang berkelok-kelok dan menanjak tajam itu sering terjadi kecelakaan lalu lintas. Sudah banyak korban meninggal di sana. Lalu muncul cerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat: ada yang pernah melihat pocong dan kuntilanak di ruas jalan tersebut.
Di jalan raya Alas Roban atau Jalan Poncowati, para begal juga tak jarang menyamun truk-truk yang lewat. Saking rawannya, banyak kendaraan yang tak berani melintas pada malam hari. Kun, 45 tahun, sopir truk asal Clapar, Subah, Batang, mengatakan dulu daerah Alas Roban dikenal banyak bajing loncat. "Sekarang sudah ramai, jalannya juga sudah lebar dan terang. Sudah tak ada lagi bajing loncat seperti dulu," kata Kun.
Sekitar dua abad silam, jalur Alas Roban merupakan bagian dari Jalan Raya Pos yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Jalan yang dibangun Daendels mengikuti kontur alam Alas Roban, yang berkelok-kelok. Pembangunan jalan ini telah membelah sebagian hutan jati di kawasan tersebut.
Pada 1990-2000-an, untuk mengurai kian padatnya arus lalu lintas yang melintasi Alas Roban, dibangunlah dua jalur baru di sisi utara dan selatan jalan lama. Satu jalan tegak lurus lebih pendek tapi menanjak dan satunya lagi jalan melingkar yang landai.
Dua jalur baru yang telah membabat sekitar 19 hektare Alas Roban itu mempercepat waktu tempuh kendaraan yang melintas di sana. Menurut Kun, kedua jalan baru itu juga membuat kawasan Alas Roban terbuka dan makin ramai. "Kesan mistis jalur Alas Roban pun makin terkikis," ujar Kun.
TIM TEMPO