TEMPO.CO, Jakarta - Di satu malam pertengahan November lalu, kami diajak menikmati makan malam di Restoran Kitaohji Akasaka Saryo, yang berlokasi di pusat kota Chiyoda-ku, Tokyo. Menurut Hiroko Kaizuka, Deputi Direktur Senior divisi Media Internasional Kementrian Luar Negeri Jepang—sebagai pengundang—Kaiseki adalah cara tradisional bersantap kaum bangsawan zaman dulu.
Sejarah menyebutkan, masakan Kaiseki dikenal sejak zaman Kamamura (1185-1333) saat berkuasa di Jepang. Pada mulanya, ukuran porsinya kecil dan diperuntukan bagi para biksu yang menjalani latihan. Dalam perkembangannya, masakan ini menjadi makanan untuk resepsi atau jamuan makan resmi. "Saat ini yang ditonjolkan dalam hidangan Kaiseki adalah seninya, meliputi keseimbangan rasa, tekstur, penampilan, dan warna," kata Hiroko.
Baca Juga:
Pada kesempatan itu, Hiroko mengajak kami menikmati sajian makan Kaiseki. Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk kotak dengan bantal tipis sebagai alas duduk yang disebut tatami. Setelah semua duduk dengan rapi, Hiroko berujar, "Dalam gaya makan Kaiseki ini silakan menikmati 13 jenis makanan yang akan tersaji di depan Anda." Kami pun melongo.
Bagaimana mungkin kami bisa menghabiskan 13 jenis makanan yang tersaji? Padahal, bagi masyarakat Jepang, tidak baik jika tidak menghabiskan makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Benar saja. Tak lama datanglah makanan pembuka yang terdiri atas enam+ jenis makanan, yakni rebusan daun lobak, irisan ikan todak yang dipanggang dengan saus bawang, sushi sirip ikan, tiram rebus sake, sup kepiting, serta sup miso telur dari Kyoto.
Sebelum menyantap, Hiroko mengajak kami melakukan ritual sebelum makan yakni itadakimasu. Kedua tangan ditangkupkan di depan dada seperti sikap menyembah. "Ini penghormatan kita untuk makanan yang akan kita santap," katanya. Tak lama kami juga diajak bersulang (kanpai) dengan minuman yang kami pesan. Biasanya orang Jepang memilih sake atau ocha (teh hijau).
Dalam sekejap, makanan-makanan tadi langsung ludes dan tinggal menyisakan mangkuk atau piring keramik kosong. Maklum, porsinya memang kecil sehingga perut tak terasa penuh. Pramusaji berbaju kimono segera datang membawa hidangan utama. Yang pertama makanan berbahan segar atau sashimi (tuna, pink shrimp, Japanese sea bass). Dilanjutkan dengan makanan yang dipanggang atau grilled dish (local chicken grilled with miso), dan makanan yang digoreng atau fried dish (shrimp tempura).
Selanjutnya, hadir makanan di dalam mangkuk kecil (pot dish), yakni lobak dan ikan amberjack (Japanese radish and Japanese amberjack) serta hati ikan sungut ganda dengan saus ponzu (ankimo ponzu). Sajian utama terakhir adalah nasi yang dimasak bersama salmon dan kacang mede. (baca juga: Restoran Ini Menjual Kombinasi Sushi dan Steik)
Setelah perut terasa kenyang dan badan enggan bergerak, datang es krim rasa teh hijau yang segar sebagai makanan penutup. Maklum, di Jepang, teh hijau tak hanya disajikan sebagai minuman saja. Rasanya sungguh ringan dan segar. (baca juga: Warna Cangkir Pengaruhi Rasa Minuman)
Sembari menikmati es krim, kami menghitung berapa lama menghabiskan waktu untuk menikmati makanan Kaiseki sambil berbincang akrab. Ternyata sudah 5 jam kami berada di restoran ini. Bersantap ala Kaiseki memang butuh waktu tak sebentar. Karena itu restoran di Jepang yang menyajikan gaya bersantap ini biasanya tak menerima pengunjung tanpa pemesanan.
Tak terasa es krim pun tandas. Datanglah saat perpisahan. Menurut Hiroko, karena orang Jepang makan di ruang tertutup, biasanya mereka meneriakkan yel-yel untuk menunjukkan saat berpisah. "Kalau kita mendengar sebuah ruangan meneriakkan yel-yel perpisahan, artinya sebentar lagi mereka akan keluar ruangan," ujar Hiroko sambil tersenyum. Kami pun melakukannya. Sayonara.
DA CANDRANINGRUM
Terpopuler:
Kamar Mandi Ini Bisa Bernyanyi
Teh Hijau Lokal Juga Bisa Mencegah HIV
Menangkal Kanker dengan Teh Hijau Lokal
Interior Kantor Gereja Ini Dirancang Ceria
Tetap Sehat Saat Liburan
Obat Tulang, Tekan Risiko Kanker
Resep Gingerbread, Hantaran Manis untuk Natal
Masakan Rumahan di Galeri Seni Kolonial