TEMPO.CO , Bangkalan: Mendengar kata benteng yang terkesan adalah bangunan kokoh. Tapi tidak dengan Benteng Erfprin. Benteng peninggalan Belanda yang terletak di Jalan KS Tubun, Kelurahan Pejagan, Kabupaten Bangkalan, ini tampak rapuh tak terurus.
Seluruh dindingnya ditumbuhi lelumut dan pada beberapa bagian bangunan mulai ambrol dimakan usia. “Kalau bukan bikinan Belanda, mungkin sudah roboh benteng ini,” kata Opik, seorang pegawai negeri Bangkalan yang mengantar Tempo mengunjungi situs bersejarah ini, Rabu, 18 September 2012.
Pintu masuk Benteng Erfprin yang dibangun di tanah seluas kurang lebih 1 hektare ini terletak di sebelah selatan. Saat masuk bau tak sedap langsung menyergap hidung. Untuk menyusuri bagian atas benteng ini, hanya ada satu-satunya tangga batu yang ditumbuhi rerumputan di bagian barat daya. Pada bagian ini ada menara intai dengan tiga lubang intai.
Di sisi barat laut Benteng Erfprin ada satu lagi menara intai. Tapi kondisinya lebih buruk dari menara pertama. Rupanya dari sisi barat laut bau tidak sedap tadi berasal. Sebagian lantai sudah dijadikan kandang ayam. Selain kandang, lahan benteng juga dijadikan kebun. Pohon nangka, pisang, mangga, papaya, jati hingga kelapa tumbuh subur dalam benteng.
Belanda juga melengkapi benteng ini dengan berbagai fasilitas. Di halaman bagian dalam benteng, ada kamar mandi dan WC yang masih berfungsi. Juga ada sebuah bangunan bentuk simetris dari utara ke selatan. Kini bangunan itu dijadikan rumah dinas anggota polisi. “Bahan dasar utama bangunan benteng ini campuran batu gamping, batu putih dan semen,” tutur Opik.
Menurut catatan Museum Cakraningrat Bangkalan, benteng belanda ini telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya baru Nomor 11 Tahun 2010.
Tapi status ini tidak lantas membuat benteng terawat. Kepala Museum Cakraningrat Didik Wahyudi memperkirakan dengan banyak tumbuhan dalam benteng dalam tiga tahun mendatang sebagian dinding benteng yang masih utuh sampai saat ini akan runtuh. “Semakin besar pohon, semakin mengancam bangunan,” kata Didik kepada Tempo.
Mestinya, kata Didik, para penghuni rumah dalam benteng ikut melestarikan Benteng Erfprins. Bukannya malah merusak dengan menanami lahan benteng dengan pohon jati dan nangka. Ketidakpedulian itu selaras dengan minimnya dukungan dana perawatan cagar budaya dari pemerintah daerah Bangkalan. Didik mengaku sudah berulang kali mengusulkan dana perawatan benda cagar budaya sebesar Rp 130 juta. “Mungkin dianggap kurang penting, usulan selalu mentok,” katanya.
Ketika Tempo berkunjung ke Benteng Erfprins, permukiman dalam benteng sepi, Sunarto anggota polisi yang juga ketua RT dalam benteng sedang tidak di tempat.
Dari manakah nama Erfprin berasal? Dalam surat kearsipan Belanda yang ada di Museum Keratin Cakraningrat menyebutkan benteng ini dibangun Raja Willem 1 yang hidup antara 1817-1848. Raja ini memiliki dua anak. Pertama bernama Prins Van Oranye dan bergelar Raja Willem II pada 1840 dan kedua bernama Erfprins atau Willem III yang menjadi Raja pada tahun 1849. “Nama Erfprins yang dijadikan nama benteng karena dibangun waktu dia berkuasa,” tutur Didik.
MUSTHOFA BISRI
Berita lain:
Kemacetan Ancam Pariwisata Bali
Seniman Tiga Negara Ini Ngamen di Ullen Sentalu
Jak-Japan Matsuri Digelar Mulai 23 September
Obyek Wisata Dieng Butuh Lahan Parkir Baru
Yogyakarta Tuan Rumah Festival Seni Budaya Hindu
Dari Hulu ke Hilir, Festival Kopi Indonesia