TEMPO.CO, Yogyakarta - Mayoritas desa di Yogyakarta belum layak kunjung. Dari 60 desa yang sudah terdaftar dan dideklarasikan sebagai desa wisata ini, hanya 15 desa yang layak dikunjungi. Payahnya lagi, hanya satu desa yang layak dan memadai untuk dikunjungi wisatawan mancanegara.
"Kendala paling utama adalah kemampuan masyarakat desa mengelola potensi desa secara profesional," kata Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, M. Tazbir Abdullah, Selasa 15 Mei 2012.
Selain itu, berbagai persoalan saat ini masih mengemuka dan didapati oleh para wisatawan yang ujungnya karena ketidakprofesionalan pengelola. Minimnya pengetahuan manajemen desa wisata membuat destinasi-destinasi berbasis pedesaan ini tidak bisa berkembang.
Tazbir menuturkan desa yang sudah dinyatakan sebagai desa wisata belum tahu persis apa yang harus diperbuat oleh para pengelola. Menurutnya, satu-satunya desa yang layak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara hanya Desa Tembi yang berada di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul.
Desa Wisata Tembi sendiri sudah dicanangkan sebagai desa wisata oleh pemerintah sejak tahun 2000. Desa Tembi menjadi pioner desa wisata di Yogyakarta. Setelah itu muncul desa-desa yang dideklarasikan sebagai desa wisata.
Namun, sayangnya, dari ratusan desa yang dideklarasikan sebagai desa wisata banyak yang tidak dikelola dengan baik. Bahkan mati sebelum berkembang dengan menerima wisatawan. Pemerintah, kata dia, melakukan pembinaan bagi para pengelola, termasuk cara mendatangkan banyak wisatawan ke desa tersebut.
Saat ini, dia menambahkan, sebagian besar desa wisata berbasis pertanian. Produk kemasan wisata yang ditawarkan juga tidak variatif dan banyak yang sama. Tentu saja itu membuat pengelola desa wisata susah untuk bersaing. "Pengelola desa wisata harus berupaya memberikan penawaran yang berbeda dengan desa wisata lain," kata Tazbir.
Ketua Asosiasi Tour dan Travel Daerah Istimewa Yogyakarta, Edwin Ismedi Himna, mengatakan para pengelola desa wisata terus dibina supaya mampu bekerja sama dengan pengelola paket perjalanan wisata. Tujuannya, supaya mereka mampu menjual desa wisata yang ditawarkan. "Kami memang enggan menjual desa wisata kepada wisatawan karena pengelola belum siap," kata dia.
Padahal, di suatu desa yang sudah menjadi tujuan wisata bisa dijual banyak hal, antara lain budaya asli, kuliner, pertanian, bahkan sampai dengan tradisi yang tidak ada di daerah lain.
MUH SYAIFULLAH