Andriko membeberkan selain dilestarikan melalui cara pengolahan tradisional, penggunaan bahan pangan lokal perlu bergeser agar bisa masuk ke industri seperti tepung-tepungan yang pasarnya lebih luas.
"Jadi orang tetap makannya mi, tapi bahan bakunya sudah lokal, pelaku industri kuliner turut berperan mengkampanyekan ini," kata dia.
Proses pembuatannya mi lethek yang masih tradisional di Bantul, Yogyakarta. (Dok. Visiting Jogja)
Andriko mengungkap, kuliner lokal bisa menjadi satu rujukan bagaimana bahan baku lokal tetap banyak peminat. Ia mencontohkan, di Yogyakarta, salah satu makanan legendaris dan populer bernama mi lethek (kotor) menjadi favorit mantan Presiden Amerika Barack Obama. Mi itu tampak kotor karena dibuat dari tepung singkong dan gaplek (singkong kering). Pengolahannya pun masih sangat tradisional karena diaduk menggunakan alat penggiling tradisional bentuk silinder besar yang ditarik oleh sapi. Mi lethek ini juga berpotensi masuk industri besar layaknya mi instan yang disukai masyarakat namun seluruhnya berbahan pangan lokal.
Andriko menambahkan, kemandirian pangan terwujud salah satunya ketika ekonomi sirkular yang mendukung jalannya industri pangan juga berputar. Selain pasarnya tersedia, produk dan bahan bakunya termanfaatkan optimal.
"Jadi duit kita di sini tidak kemana-mana (untuk impor), semua berputar di dalam negeri, itu wujud kemandirian pangan, tak sekadar ketahanan pangan," kata dia.
Kemandirian pangan zaman Mataram Islam
Penulis buku Daulat Pangan HM. Nasruddin Anshoriy Ch yang akrab disapa Gus Nas menuturkan, salah satu edukasi agar penggunaan bahan lokal turut naik trennya dengan perspektif kebudayaan. Ia mencontohkan, masyarakat bisa diberi literasi sejarah bertema kemandirian pangan di wilayah masing-masing agar sadar dan turut dalam gerakan itu.
"Seperti di Yogyakarta, di era awal Kerajaan Mataram Islam atau Sultan Agung yang kemandirian pangannya luar biasa," kata dia.
Kemandirian pangan itu ditunjukkan melalui manuskrip lawas bagaimana ketika di masa silam Kerajaan Mataram Islam menjamu tamu-tamunya dari Kerajaan Ottoman.
"Dalam satu hari Mataram Islam bisa memotong 4 ribu kambing untuk jamun makan bersama tamu tamunya dari Kerajaan Ottoman yang peristiwanya lantas disebut dengan Andrawinaloka," kata dia.
Tradisi menjamu tamu dengan santapan daging kambing oleh Kerajaan Mataram Islam 400 tahin silam itu, ujar Gus Nas, saat ditelusuri sejarahnya ternyata berkaitan dengan sejarah kampung Jejeran Kabupaten Bantul. Kampung Jejeran Bantul merupakan pusatnya kuliner olahan daging kambing di Yogyakarta dengan menu favorit sate klatak.
Sate klatak merupakan sejenis sate kambing yang diolah dengan cara dibakar menggunakan besi dan dengan menggunakan bumbu sederhana yakni garam dan kuah kaldu. Pada zaman dahulu, garam yang dipakai membumbui sate ini berupa garam kasar atau grosok yang ketika terbakar menimbulkan bunyi klatak-klatak, seperti nama jenis kuliner ini.
PRIBADI WICAKSONO
Pilihan Editor: Ada Hidangan untuk Prajurit Pangeran Diponegoro, ini Deretan Kuliner Khas Kulon Progo