Mula Belajar Menjadi Puang
Tahun 1990, ia bertemu dengan Puang Loloningo dan Puang Husein. Keduanya merupakan bissu utama yang pernah berperan penting di kerajaan. Bissu punya kedudukan penting dalam menyiapkan pranata pelantikan raja, membersihkan pusaka kerajaan, dan menyiapkan pernikahan anak raja. Puang Husein merupakan bissu keturunan raja Bone. “Keduanya menggembleng saya, termasuk mengajari baca lontar I La Galigo dan menari tari bissu,” kata Puang Matoa Ancu.
Sejak 35 tahun lalu, Puang Matoa Ancu menjadi bissu dan menggantikan Daeng Tawero yang meninggal, imam utama bissu. Untuk menjadi bissu, puang harus memenuhi 13 persyaratan.
Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).
Bissu harus menguasai mantra-mantra bahasa Torilangi sebagai sumber bahasa etnis Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo yang kerap dikaji peneliti asing. Bahasa Torilangi ada dalam karya sastra I La Galigo yang mengisahkan penciptaan peradaban Bugis.
Selain itu, bissu harus menunjukkan sikap bijak dalam kehidupan sosial, menjadi penengah ketika terjadi perbedaan pendapat dan bisa menerawang kehidupan. Bissu juga wajib menjauhi kehidupan duniawi, memperbanyak ibadah dan melatih ketenangan jiwa. “Syarat yang berat itulah yang membuat tak semua waria bisa menjadi bissu,’ kata dia.
Sejak ditahbiskan menjadi bissu di rumah adat Bone, Bola Soba itulah, kehidupan Puang Matoa Ancu berubah drastis. Orang tuanya yang ikut menyaksikan puang ditahbiskan mulai menerimanya sebagai waria.
Puang kerap diundang untuk mengisi acara penyambutan tamu-tamu penting, di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri yang datang ke Makassar. Puang pernah tampil membawakan tarian penyambutan di hadapan Presiden SBY saat bertandang ke Makassar.
Sejak saat itu, puang menjadi tulang punggung keluarga. Dia mampu membuktikan dirinya mandiri dan bisa membiayai pendidikan saudaranya dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).
Kepada puang, ayah dan bundanya pernah berujar menyesal. “Mereka bilang kalau membunuhku siapa lagi yang jadi tulang punggung keluarga,” ujar puang.
Seiring dengan tugas puang menjaga tradisi Bugis, usaha dekorasi dan rias pengantin yang dia dirikan semakin maju. Puang yang pernah menjabat sebagai Ketua Kerukunan Waria Kabupaten Bone ini juga kerap menampung waria di rumahnya. Mereka menjahit, merias, mendekorasi, memotong rambut, dan mengajari menari anak-anak.
Regenerasi Mandek, Bissu di Ambang Kepunahan
Kini, Puang menghadapi tantangan yang kian berat yakni regenerasi bissu. Dia khawatir, keberadaan bissu menuju gerbang kepunahan karena pembatasan gerak mereka dalam ritual tradisi Bugis. Selama dua tahun terakhir misalnya, bissu tak lagi dilibatkan dalam hari jadi Bone.
Pembatasan gerak bissu membuat waria tak banyak yang tertarik menjadi bissu karena tidak menjanjikan. Tekanan ekonomi membuat mereka tak fokus menjadi bissu. Pembatasan gerak itu berdampak pada pendapatan bissu. Sebagian orang kini enggan mengundang mereka untuk merias pengantin dan menangani pranata pernikahan keturunan bangsawan.
Jumlah bissu semakin melorot. Di Bone misalnya hanya tersisa satu imam utama bissu dan sepuluh bissu yang menjadi penari maggiri atau tusuk diri.
Konservatisme yang semakin menguat membuat bissu terancam. Kebencian dan persekusi terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender menurut puang juga berdampak terhadap mereka. “Semoga saya bukan bissu generasi terakhir,” ujar dia.
Pilihan Editor: Jalan Sunyi Bissu Terakhir Bone