TEMPO.CO, Bone - Puang Matoa Ancu, imam utama bissu atau gender kelima Bugis di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan menangis sesenggukan karena mengingat perjalanannya menjadi bissu yang penuh liku. Masyarakat Sulawesi Selatan mengenal bissu sebagai tokoh spiritual penjaga tradisi dan punya kedudukan terhormat pada masa kerajaan di Sulawesi Selatan.
Puang Matoa Ancu bisa dibilang sebagai The Last of the Mohicans atau generasi terakhir bissu. Kisah Puang menjadi bissu dimulai sejak dia berumur belasan tahun atau bersekolah di sekolah menengah pertama. Saat itu, Puang Matoa Ancu telah merasakan jiwanya sebagai perempuan.
Baca Juga:
Puang muda suka menari, menggunting rambut, memasang bunga di sanggul, merias, merangkai janur dan bunga. Kegemarannya itu ia lakukan bersama perempuan dan seniman di Taman Bunga Arung Palakka di jantung kota Watampone, Bone. “Saat itu saya belum terpanggil menjadi bissu,” ujar Puang Matoa Ancu ditemui Tempo di rumahnya di Watampone, Bone, Senin, 26 Juni 2023.
Saya menemui Puang, menempuh perjalanan darat dari Makassar ke Bone selama hampir lima jam selepas mengisi acara pelatihan bertema jurnalis keberagaman yang digelar Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK). Kami mengobrol sembari menikmati sajian makan malam masakan khas bissu Bella yang menemani Puang.
Puang menjelaskan jiwa feminimnya makin terasa saat dia bersekolah di sekolah menengah atas. Dia suka mengenakan selendang dan kipas dengan rambut pendeknya.
Orang Tua Puang Matoa Ancu Menolak dan Dicap Anak Durhaka
Sejak saat itu, Puang menyadari dirinya seorang waria atau laki-laki keperempuanan (calabai). Menjadi waria bagi Puang tak mudah. Menurut dia, orang tuanya yang konservatif dan fanatik tidak menerima identitasnya. Keluarganya menyebut Puang sebagai pendosa, anak durhaka, dan membawa petaka. “Saya hampir mati dicambuk dan dipukul. Tapi, saya pasrah kepada Dewata,” tuturnya.
Imam utama bissu, Puang Matoa Ancu di rumahnya di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)
Dewata merupakan Tuhan yang dipercaya para bissu dalam kepercayaan kuno Bugis. Puang meyakini Dewatalah yang menetapkan dirinya sebagai waria yang kemudian ditahbiskan menjadi pemimpin bissu. Untuk menghindari kemarahan, pukulan, dan cambukan ayahnya, Puang kerap pergi dari rumah untuk bersembunyi. Dia menumpang dari satu kawan ke kawannya di sekitar Sulsel. Puang memiliki 13 saudara. Selain ayahnya, saudara laki-laki Puang juga kerap memukulinya.
Setelah lulus SMA pada 1985, Puang melanjutkan kuliah diploma tiga di jurusan pariwisata di Akademi Pariwisata di Makassar. Ia membiayai kuliah dengan cara bekerja mendekorasi pelaminan dan merias pengantin. Puang lulus diploma Tahun 1988.
Selepas lulus, ia bekerja keras mengumpulkan modal untuk membuka jasa rias dan dekorasi pengantin. Sedikit demi sedikit, dia mengumpulkan uang untuk menabung dan membeli peralatan untuk jasa itu. Ketekunan dan kegigihannya membuahkan hasil. Puang kemudian mendirikan jasa rias dan dekorasi pengantin di rumahnya. Sejak saat itulah, orang mulai kerap menggunakan jasanya.
Selanjutnya Mulai Belajar Menjadi Puang