TEMPO.CO, Jakarta - Berlibur ke Bali tidak hanya tentang pantai atau budayanya. Pulau Dewata juga memiliki destinasi wisata religi yang layak untuk dikunjungi, namanya adalah Puja Mandala.
Komplek di Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Bali itu merupakan sebuah pusat peribadatan bagi lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu.
Di dalamnya terdapat Mesjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa dan Pura Jagat Natha. Tempat-tempat peribadatan ini saling berdampingan di dalam satu lokasi.
Pengurus Mesjid Agung Ibnu Batutah Sholeh Wahid menceritakan pendirian Puja Mandala yang memiliki arti tempat beribadah itu bermula dari keinginan warga Muslim di sekitar Benoa dan Nusa Dua -yang umumnya pendatang dari Pulau Jawa- untuk memiliki masjid sendiri. "Sebab masjid terdekat berada di Kuta, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari tempat tinggal mereka," kata dia dikutip dari indonesia.go.id.
Keinginan yang disampaikan pada 1990 itu akhirnya direspons oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi saat itu, Joop Ave. Menteri meminta agar dibangun suatu pusat peribadatan bagi lima agama yang diakui di Indonesia.
Pembangunannya mulai dilakukan pada 1994 dan berlangsung hingga 1997 dengan menyelesaikan bangunan Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa dan Gereja GKPB Bukit Doa.
Masjid Agung Ibnu Batutah yang berlantai tiga dibangun di bagian paling kiri dari Puja Mandala. Bangunannya berbentuk susunan limas seperti umumnya mesjid di tanah Jawa.
Tepat di samping mesjid adalah bangunan Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa. Bangunan gereha berbentuk menara lonceng tunggal dengan dinding depan gevel mengikuti bagian atap dan bagian belakang gereja berdesain atap tumpang.
Sementara Gereja GKPB Bukit Doa dibangun dengan desain unik berukiran Bali pada beberapa sudut dinding, termasuk menara lonceng tunggal berukiran Bali. Bagian atap gereja menghadap empat penjuru arah.
Vihara Buddha Guna selesai dibangun pada 2003. Bangunan vihara dengan dominasi warna kuning gading. Di pintu gerbang terdapat dua patung gajah putih dan pagoda emas di bagian atas vihara.
Pura Jagat Natha menjadi rumah ibadah yang terakhir diresmikan, yaitu pada 30 Agustus 2004.
Tak sekadar bangunan fisik yang berdampingan, umat beragama di sana mengaplikasikan toleransi yang indah. Para pengurus rumah ibadah telah membuat kesepakatan mengenai pengelolaan bersama Puja Mandala.
Ketika tiba waktunya peribadatan umat Kristiani di hari Ahad bersamaan dengan masuknya waktu salat Zuhur, maka bukan bedug yang dibunyikan, justru dentang lonceng puluhan kali dari Gereja Bunda Maria yang berbunyi. Dentangnya menggantikan suara bedug dan sesaat kemudian baru petugas muazin mengumandangkan azan.
Ketika umat Islam sedang menggelar salat Idulfitri atau Iduladha, maka semua pengurus gereja, vihara dan pura akan bekerja sama membantu menjaga lokasi sekitar salat dan mengatur arus lalu lintas. Hal sebaliknya terjadi ketika umat Kristiani menjalani peribadatan Natal dan Paskah, maka pengurus dan umat agama lain terjun membantu. Demikian pula ketika Hari Raya Nyepi, umat agama lain di sekitar Puja Mandala akan terjun membantu pecalang mengamankan lingkungan sekitar pusat peribadatan.
Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 10-30 bus pariwisata singgah ke Puja Mandala membawa para wisatawan yang ingin wisata religi. Umumnya mereka kagum dengan tingginya toleransi yang ditunjukkan di Puja Mandala ini.
Baca juga: Tradisi Ngayah Wujud Nyata Gotong Royong dan Toleransi Warga Bali