TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro hanya bisa pasrah dengan keputusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang meminta mereka tutup selama Pemberlakuan Pengetatan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat 3-20 Juli 2021.
Para PKL yang harus tutup adalah mereka yang tidak masuk kategori sektor esensial atau menjual kebutuhan sehari sehari seperti makanan/minuman. "Ini sangat pahit, tapi kami bisa memahami kebijakan tersebut," kata Presidium PKL Malioboro Sujarwo, Jumat, 2 Juli 2021.
Sujarwo menyatakan para PKL Malioboro sudah berembug untuk kondisi terburuk ini, demi upaya menekan laju penularan Covid-19 yang terus meninggi di seluruh kabupaten/kota DIY. "Kami akan patuh, karena setuju atau tidak setuju, kebijakan ini toh akan tetap diberlakukan. Tentu saja, bagi kami PPKM darurat ini terasa lebih berat," kata dia.
Menurut Sujarwo, kondisi penghasilan para PKL sebenarnya belum benar-benar pulih meski usai lebaran kunjungan wisata sempat meningkat. "Tapi dampak kebijakan Covid-19 yang kemarin, seperti larangan mudik, sama sekali belum berakhir," ujarnya.
Sekarang, ditambah PPKM Darurat ini dinilai situasinya juga jauh lebih sulit. Termasuk bagi kalangan PKL kuliner yang masih bisa beroperasi namun dilarang melayani makan di tempat (dine in) karena wajib take away atau delivery.
"Model take away dan delivery sama sekali tidak sesuai dengan karakter PKL kuliner di kawasan Malioboro, yang mengandalkan suasananya sebagai nilai lebih," kata Sujarwo.
Sujarwo mengatakan dapur keluarga para PKL sangat tergantung dari buka dan tidaknya mereka berjualan. Sebab, mereka bukan pegawai atau semacamnya yang menerima gaji setiap bulan.
"Sangat mungkin akan lebih banyak lagi PKL yang bertahan hidup dengan menjual aset yang mereka miliki maupun dengan pinjaman dari koperasi dan lembaga keuangan lain dengan bunga tinggi," kata Sujarwo.
Meski sangat sulit, Sujarwo mengatakan tetap berharap ada bantuan dari Pemerintah Kota dan DIY untuk para PKL yang harus tutup itu. "Kami harap pemerintah daerah ikut membantu, meringankan beban hidup keluarga PKL dan memastikan ketersediaan modal, saat mereka diperbolehkan berjualan seperti biasa lagi," kata dia.
Sujarwo mengatakan pihaknya juga mendorong agar kebijakan PPKM Darurat ini dievaluasi dari hari ke hari. Tidak diberlakukan lebih lama lagi. "Karena secara ekonomi, berdampak besar bagi pelaku ekonomi kecil," ujarnya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan akan melaksakan penuh PPKM Darurat di DIY termasuk memberikan sanksi pada siapapun yang melanggar. "Untuk Malioboro, kaki lima juga tutup," kata Sultan, Jumat.
Sultan menyatakan tak punya pilihan untuk bersikap lebih tegas dalam PPKM Darurat ini. Sebab, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menjadi wilayah dengan eskalasi pandemi level 4 atau tertinggi kasusnya di Indonesia. "Tak hanya di Yogya, Jawa-Bali sudah tak ada namanya zona hijau dan kuning dan di DIY zonanya merah," ujarnya.
Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo menyatakan selain menutup seluruh kawasan wisata, akan menerapkan sanksi beragam bagi pelanggar PPKM Darurat. "Sleman dalam zona merah level 4 sehingga perlu tindakan tegas, tanpa diskusi, tanpa kompromi bila ada pelanggaran," kata dia.
Sanksi itu bila perorangan dengan sanksi sosial berupa pembinaan, fisik seperti push up, kerja sosial sampai menyanyikan lagu kebangsaan dan untuk badan usaha atau koorporasi ditutup tempat usahanya.
Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Berty Murtiningsih mengatakan DI Yogyakarta kembali pecah rekor penambahan kasus terkonfirmasi Covid-19 pada Jumat ini, menjelang penerapan PPKM Darurat. "Penambahan kasus hari ini sebanyak 922 kasus, sehingga total kasus terkonfirmasi menjadi 62.276 kasus dan total meninggal dunia 1.620 kasus," kata dia.
Baca juga: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tutup Total Selama PPKM Darurat