TEMPO.CO, Jakarta - Kuliner sei berasal dari Nusa Tenggara Timur atau NTT. Di daerah asalnya, daging yang biasa digunakan sebagai sei adalah daging babi. Ketika mulai populer di berbagai daerah, penjual sei memodifikasi bahan dengan menggunakan daging sapi. Yang penting, bagaimana mempertahankan teknik memasak dan cita rasanya agar tetap autentik.
Ahli kuliner Timor dari Komunitas Lakoatkujawas, Dicky Senda mengatakan orang yang belum tahu mungkin akan berpikir daging dalam kuliner sei diolah dengan cara dipanggang atau dibakar. "Padahal teknik memasak sei itu tidak dipanggang dan tidak pula dibakar," kata Dicky Senda kepada Tempo, Sabtu 9 Januari 2021.
Dicky menjelaskan, sei merupakan teknik memasak tradisional yang dilakukan selama berhari-hari oleh suku Molo, masyarakat Kepulauan Timor - kini dikenal dengan nama Nusa Tenggara Timur atau NTT, khususnya wilayah Timor Barat dan Timor Tengah Selatan. Sei menggunakan teknik mematangkan daging dengan menggunakan arang yang diletakkan jauh dari tempat pemanggangannya.
"Tinggi tempat meletakkan daging dari arang itu sangat jauh, bisa lebih dari dua meter," kata Dicky Senda. Tujuannya, tidak boleh ada asap sama sekali yang merasuk ke daging. Dengan begitu, daging tetap matang tanpa berubah cita rasanya.
Suku Molo yang tinggal di Pegunungan Mutih, wilayah Timor Tengah Selatan, melakukan sei dengan meletakkan daging di atas bara tanpa asap sama sekali. Tungku untuk menyalakan bara api terpisah dengan tempat mematangkan daging. Bara api harus terus menyala tanpa dikipas agar tidak menghasilkan asap.
Supaya bara pada arang awet, Suku Molo menggunakan kayu kosambi yang tebal dan besar. Mereka juga menggunakan daun kosambi sebagai penutup daging agar matang sempurna. Daun kosambi berfungsi sebagai penahan panas saat daging sedang disei sekaligus menjaga rasa dan warna asli daging. "Itu sebabnya warna daging sei tetap merah," kata Dicky.
Sei yang asli juga tidak menggunakan garam. Musababnya, Suku Molo yang tinggal di wilayah pegunungan tidak mengenal garam. "Garam dibawa oleh orang pesisir, mungkin mereka mengolahnya dengan cara berbeda. Kalau di Molo, sei dibuat tawar," kata Dicky.
Latar belakang budaya juga mempengaruhi teknik memasak sei. Salah satunya budaya persembahan untuk Dewa Uis Neno, Uis Pah, dan Uis Maka. Sei kian lezat jika disantap bersama jagung olahan khas Pulau Timor, yaitu Jagung Bose. Namun pada restoran kekinian, sei dinikmati bersama nasi daun jeruk dan sambal luat.
Sambal luat adalah sambal yang dibuat dari fermentasi cabai, bawang putih, campuran kulit jeruk purut, daun jeruk, daun sipa atau daun peterseli, daun ketumbar, dan garam. "Sambal ini tidak langsung disantap setelah dihaluskan, melainkan harus disimpan dalam tabung bambu hingga dua bulan," kata Lilian Sede, penikmat sei asal Kupang yang pernah mendapat pelatihan membuat sei dan sambal luat.
Berbeda dengan penyajian sei yang dibuat Suku Molo atau daerah pedalaman Timor, di Kupang, daging yang digunakan untuk dibuat sei lebih banyak daging babi. "Bahkan yang berbahan daging babi saat ini ada yang dibuat seperti hot plate," kata penikmat sei asal Kupang, Hendrik Yulius.
Tempo berkesempatan mencicipi sei sapi merasakan sari pati daging yang sangat kuat. Sei sapi memiliki rasa gurih asin, Bila disandingkan, rasanya mirip steak dengan tingkat kematangan teratas atau well done. Meski mirip, sei sapi sudah lezat alami tanpa saus. Tak ada cita rasa daging hangus atau pahit.
Rasa asin gurih sei sapi semakin keluar saat disantap bersama sup berkuah kental yang di dalamnya dicampur daun kemangi. Marbel atau lemak yang menyelinap di sela serat daging bikin cita rasanya kian enak dan membuat daging semakin juicy.