TEMPO.CO, Jakarta - Di bawah pohon rindang di pesisir Pantai Nuruwe, Maluku, Hesti Matita memilah setumpuk rumput laut dan sampah. Dibantu sang anak, mereka cekatan memasukkan rumput laut itu ke dalam karung goni, sedangkan sampah tumbuhan disisihkan. Sang suami, Weltimus Maya, berlayar dengan perahu tradisional, juga membawa setumpuk rumput laut lagi yang baru dipanen di laut yang berjarak sekitar 150 meter dari pesisir.
Meski tengah panen, Hesti tak begitu semringah. “Panennya gagal karena rumput lautnya terkena penyakit kumis kucing,” ujar Hesti, di Negeri Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Senin, 9 November 2020.
Hesti beserta suami dan kelompoknya membudidayakan rumput laut seluas dua hektare sejak 2005 silam. Selama hampir 15 tahun itu, jarang sekali rumput lautnya terserang penyakit. Terakhir kali, rumput laut gagal panen terjadi pada 2018. "Satu titik kena penyakit, semua rumput laut di wilayah ini bisa tertular cepat, gagal panennya bersamaan.”
Baca juga : Cerita Ridho Slank Saat Ikut Ekspedisi Maluku di Masa Pandemi
Nelayan rumput laut, Hesti Matita, sedang memilah hasil panennya di pesisir Pantai Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, pada Senin, 9 November 2020. Tempo/Linda Trianita
Dalam kondisi normal, rumput laut basah laku dijual seharga Rp 8 ribu per kilogram. “Biasanya untuk bibit,” ujarnya. Usia panennya sekitar 25 hari. Jika dijual dalam kondisi kering, usia panennya 45-50 hari. Butuh waktu tiga hari untuk mengeringkan rumput laut tersebut. Per kilogram rumput laut basah dibanderol Rp 15 ribu.
Namun, karena panen kali ini berpenyakit, rumput laut yang dikeringkan tersebut paling hanya laku Rp 6 ribu hingga Rp 8 ribu per kilogramnya. Satu kilogram rumput laut kering setara dengan 10 kilogram rumput laut basah. Dalam satu kali panen, biasanya para nelayan ini bisa menghasilkan 2-10 ton.
Baca juga : Sekolah di Nuruwe, Maluku, Masuk Sekali dalam Sepekan Kala Pandemi
Dari budi daya rumput laut tersebut, Hesti bisa menghidupi dan menyekolahkan dua anaknya. Namun, belakangan penghasilan mereka semakin menurun. Selain karena penyakit “kumis kucing”, pandemi Covid-19 juga berimbas pada perekonomian mereka.
Rumput laut berserabut kecil atau disebut “bulu kucing” penyebab gagal panen nelayan di Negeri Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Senin, 9 November 2020. Tempo/Linda Trianita
Di gudang Hesti, misalnya, teronggok delapan karung goni rumput laut kering. Biasanya dalam kondisi normal, pembeli akan sering datang ke kampung-kampung atau mereka juga menjual langsung rumput laut itu ke Kota Ambon. “Sekarang susah ke mana-mana, harus pakai surat izin sehat dan lainnya,” kata dia.
Serupa dengan Hesti, nasib malang juga dialami Pit Leoning. Dengan gagal panen kali ini, modal tanam Rp 4 juta per hektare itu tak akan kembali. Pit bersama sembilan warga di kelompoknya mengelola 2 hektare budi daya rumput laut. “Kami ada ancaman virus corona di darat, di laut kena kumis kucing rumput laut,” ujar pria yang juga sudah 15 tahun menjadi nelayan rumput laut tersebut.
Persoalan lainnya, kata Pit, sampah plastik juga semakin banyak. “Kalau ada arus, bisa kena banjir sampah plastik, pampers, itu mengganggu pertumbuhan,” ucapnya. Menurut dia, nelayan yang membudidayakan rumput laut juga semakin menyusut. Jika pada 2005 lalu ada 16 komunitas yang masing-masing terdiri atas 10 warga, kini yang masih aktif tersisa empat saja.
LINDA TRIANITA