TEMPO.CO, Jakarta - Mauren Akolo menghabiskan waktu di pesisir barat Pulau Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, sejak pukul 07.00, Senin, 9 November 2020. Riak ombak membasahi kaki dan pakaiannya. Bocah 11 tahun itu dengan riang bermain bersama belasan kawannya. “Kami sering bermain di sini karena sekolahnya cuma besok,” kata Mauren.
Mauren kini duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar Kristen Nuruwe. Semenjak pandemi Covid-19 yang mulai merebak pada Maret lalu, ia dan teman-temannya libur sekolah. “Kami baru mulai masuk sekolah lagi pada Juli lalu,” ujarnya.
Sebenarnya ia mendapat banyak tugas dari sang guru. Tugas-tugas itu kemudian dikumpulkan saat waktu sekolah tiba. “Saya baru belajar pukul 06.00 sore. Kalau siang main sama teman-teman, kadang juga bantu mama masak,” ucapnya.
Mauren Akolo, 11 tahun, berpose di pesisir Pantai Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Tempo/Linda Trianita
Mauren bergiliran masuk sekolah hari Selasa tiap pekannya. Waktu belajar diperpendek, dari pukul 08.00 hingga pukul 12.00. Siswa kelas 6 SD Kristen Nuruwe berjumlah 32 orang. Menurut Mauren, mereka dibagi dalam enam kelompok. Tiap kelompok mendapat jatah masuk sekolah pada hari yang berbeda. Lokasi belajar-mengajar juga tidak di sekolahan, tetapi di rumah-rumah warga atau wali murid.
Guru SD Kristen Nuruwe, Mei Nikolebu, mengatakan metode sekolah dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok ini untuk menyiasati agar kegiatan belajar-mengajar tetap bisa berlangsung di kala pandemi. Jika di perkotaan atau daerah-daerah maju bisa belajar secara daring, Mei menyatakan hal itu susah dijangkau di Nuruwe. “Kadang orang tua tidak punya handphone yang bisa digunakan untuk video call atau layanan lainnya. Tidak mampu beli,” ujar Mei.
Siswa kelas 4 SD Kristen Nuruwe baru pulang sekolah yang bertempat di rumah warga di Negeri Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Tempo/Linda Trianita
Mayoritas penduduk Nuruwe bermata pencaharian sebagai petani kopra, nelayan ikan, nelayan rumput laut, dan produsen minuman tradisional sopi. Di tengah pandemi ini, pendapatan masyarakat merosot tajam. Mobilitas mereka ke daerah lain juga terbatas. “Kami tidak ingin semakin menambah beban mereka. Kemampuan dan pendidikan mereka juga terbatas,” ucapnya.
Karena itu, Mei tiap hari harus datang ke para rumah wali siswa atau warga yang dijadikan tempat belajar. Aktivitas belajar mengajar ini biasanya di teras rumah. Dalam satu kelompok, ada 6-7 siswa. Untuk kelas 1-3, waktu belajar mengajar hanya 90 menit dan satu mata pelajaran saja. Sedangkan kelas 4-6 bisa sampai empat jam dengan dua mata pelajaran. Mei sesungguhnya kasihan dengan para siswa yang hanya bisa masuk sekolah sehari dalam sepekan. “Tapi kami juga takut Covid. Jangan sampai nanti anak-anak tertular, lalu kami juga disalahkan.”
Seperti halnya Ibu Guru Mei, Mauren juga takut virus corona. Di saat yang sama, dia juga rindu masuk sekolah rutin tiap hari seperti dulu. “Kangen sekolah seperti biasanya. Tapi lagi corona, jadinya takut juga,” kata Mauren.
Opian Tesuhirana, warga yang rumahnya dijadikan tempat sekolah untuk kelas 1, tak keberatan dengan kegiatan belajar-mengajar di kediamannya. “Melihat anak-anak ini semangat belajar, saya senang. Kadang mereka ada yang datang tiap hari meski seharusnya hanya sekali saja per minggunya,” ujar pensiunan guru tersebut.
LINDA TRIANITA