TEMPO.CO, Yogyakarta - Dampak wabah corona tak hanya mematikan industri pariwisata di Yogyakarta yang kasat mata saja. Ratusan orang yang menggantungkan hidup dari penjualan kuliner khas Yogyakarta, bakpia, di Kampung Patuk, juga ikut merasakan pahitnya.
Sepinya kunjungan wisatawan selama wabah corona membuat produksi bakpia di kampung sebelah barat kawasan Malioboro berhenti total. "Sudah tiga pekan kami semua tidak membuat bakpia lagi karena tidak ada pesanan dan pembeli," ujar Ketua Koperasi Sumekar Bakpia Patuk Yogyakarta, Sumiyati, Jumat 3 April 2020.
Koperasi yang beranggotakan perajin yang mengelola 45 merek oleh-oleh bakpia itu, akhirnya sebagian memilih banting setir berjualan nasi, tanaman herba, masker, dan lainnya. Sumiyati menambahkan, saat ini produksi bakpia hanya dilakukan jika benar ada yang memesan saja. Tidak lagi memasok ke toko oleh-oleh yang ada di dalam maupun luar Yogyakarta.
"Kami membuat bakia hanya untuk kebutuhan orang di rumahan sekitaran Yogyakarta. Paling dua sampai lima dus saja. Pengiriman ke luar kota sudah stop," ujarnya. Bagi masyarakat yang hendak membantu pembuat bakpia Yogyakarta ini dapat langsung memesan melalui telepon kemudian akan diantar ke alamat yang dituju. Pemesanan juga bisa dilakukan melalui toko oleh-oleh yang biasa menjual bakpia.
Toko-toko bakpia yang tutup di kampung Patuk, Yogyakarta. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Sumiyati menjelaskan, sebelum wabah corona terjadi, para pembuat bakpia bisa mengolah minimal 10 sampai 15 kilogram bahan. "Tapi sekarang, dalam seminggu bisa mengolah lima kilogram bahan saja sudah bagus," kata dia.
Para pembuat bakpia pernah tetap berproduksi seperti biasa pada pertengahan Maret 2020. Saat itu, pemerintah DI Yogyakarta belum mengumumkan temuan kasus positif infeksi virus corona di sana. Namun setelah pertengahan Maret itu, semua produksi tak laku dan terjadi penumpukan bakpia hingga lebih dari 100 dus. Bakpia yang tak laku itu terpaksa dijadikan campuran pakan ternak.
Sumiyati selama menjadi perajin bakpia dalam kurun waktu 30 tahun, baru kali ini merasakan dampak yang begitu besar. Dia membandingkan ketika terjadi gempa bumi pada 2006 dan erupsi Gunung Merapi 2010 di Yogyakarta.
Saat gempa bumi, bisnis bakpia justru tetap hidup karena Yogyakarta banyak disambangi wisatawan dari luar kota yang ingin menengok kondisi keluarganya. Sebelum kembali, mereka mampir beli bakpia sebagai oleh-oleh. "Jadi pesanan bakpia saat itu lancar, bahkan meningkat," kata Sumiyati. Begitu juga ketika peristiwa erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta yang menewaskan Mbah Maridjan pada 2010.
Toko-toko bakpia yang tutup di kampung Patuk, Yogyakarta. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Kondisinya berbeda dengan bencana wabah corona ini. Menurut Sumiyati, kecil sekali celah untuk memungkinkan perajin berproduksi karena orang tak berani keluar rumah. Konsep penjualan secara online pun sulit untuk bisnis oleh-oleh ini, meski cara tersebut sudah dirintis sebagian besar perajin.
Industri kuliner bakpia hanya segelintir usaha mikro kecil menengah di Yogyakarta yang terimbas wabah corona. Masih banyak usaha mikro yang bertahan agar tetap berdenyut. Untuk membantu sektor informal terdampak yang sebagian besar dijalankan kalangan keluarga tak mampu ini, Pemerintah DI Yogyakarta menyiapkan jaminan hidup bagi kelompok rentan terdampak COVID-19 sebanyak dua kali selama April dan Mei 2020.
Seusai pembahasan bersama DPRD DI Yogyakarta pada Rabu, 1 April 2020, skema anggaran untuk jatah hidup masyarakat miskin berubah dari Rp 300 ribu menjadi Rp 675 ribu per keluarga. Alokasi jatah hidup yang awalnya untuk 10 ribu keluarga miskin juga bertambah menjadi 19.200 keluarga.