Sayang, danau ini hanya dipenuhi rumah penduduk dan hutan, belum menjadi tempat wisata yang memadai. Bahkan tepian danaunya sudah padat dengan rumah penduduk, sehingga tak ada ruang bagi wisatawan untuk bermain-main menikmati airnya.
Dari sini, petualangan dilanjutkan ke Danau Towuti. Jalan menuju Towuti belumlah mulus. Jalan itu masih berupa tanah merah dan batu. Jelas, bila hujan deras, jalan itu akan jadi kubangan lumpur. Jalannya menanjak dengan hutan di kiri-kanan. Selama satu jam kendaraan kami nyaris sendirian menyusuri jalan itu, hingga akhirnya bertemu dengan sebuah jembatan beton dan sebuah desa di seberangnya.
Desa Tolu menjadi desa pertama dari deretan lima desa dengan Desa Mahalona sebagai desa induk berada paling ujung. Penduduknya kebanyakan berkebun merica. Erwin, seorang pemilik perahu, lalu mengantar kami menyusuri Sungai Tominanga menuju Danau Mahalona.
Danau Mahalona, danau terkecil dari tiga danau di Luwu Timur, Air danau itu jernih dan biru. Tepiannya banyak ditumbuhi semak dan bakau. Permukaan airnya tenang, sangat bagus untuk bersampan-sampan. Menurut Erwin, warga desa sering piknik ke sana bila air sedang surut.
Danau-danau di Luwu Timur masih alami dan belum banyak diketahui orang. Lokasinya memang tersembunyi dan transportasi ke sana masih sulit. Keindahan tersembunyi itu, betapa pun, tentu akan menarik minat "petualang" wisata yang ingin melihat tempat-tempat yang belum terungkap di Nusantara.
Perahu ketinting di Danau Matano, Sorowaki, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. TEMPO/Fardi Bestari