Perahu hijau bercadik itu bergerak tak jauh dari tepi danau, sehingga terlihat Pantai Ide dan Salonsa serta perumahan milik Vale yang khas—semuanya dari kayu dan tanpa pagar.
Sekitar 20 menit kemudian, mesin perahu mati dan Hendra mendorong perahunya pelan merapat ke tebing karang yang dipenuhi semak belukar. Persis di bawah tebing itu, tampak sebuah lubang yang sebagian tenggelam di air. "Ini gua bawah air. Anda bisa menyelam dan muncul di dalam gua sana atau melompat dari lubang di atas," ujarnya.
Dengan merambat pada akar dan dahan pohon, dinding karang itu bisa digapai puncaknya. Dari atas tebing itu, tampaklah sebuah lubang selebar sedepa yang dikelilingi batu dan tanah. Ada tiga tempat yang tampaknya bekas diinjak orang.
Di bawah tampak di sana air yang tenang dan hijau berkilauan. Tinggi lubang ini 10-15 meter. Bagi yang tak biasa, butuh keberanian untuk melompat dari tebing ke dalam gua air itu.
Gua itu kira-kira separuh luas lapangan badminton. Karangnya kebanyakan menonjol ke bawah. Airnya jernih, sehingga bayang-bayang batu besar di dasar sana tampak jelas dari permukaan. Kolam itu hijau ditimpa cahaya matahari dari lubang tadi dan lubang kecil yang menghadap ke danau. Ini betul-betul gua rahasia. Kecantikannya hanya bisa dinikmati dengan memasukinya.
Banyak gua di sepanjang tepian danau, tapi Hendra tak mengizinkan untuk dicoba. "Beberapa tempat berbahaya karena jadi sarang ular dan buaya," katanya. Buaya dan ular memang kerap dijumpai di sekitar Danau Matano. Tapi, menurut sejumlah orang, buaya di sini lebih "bersahabat" daripada yang ada di Danau Towuti, yang bahkan pernah menyerang manusia.
Hanya beberapa menit dari gua bawah air, terdapat gua lain. Kali ini harus memanjat dinding tebing agak lebih tinggi. Gua itu, seperti gua umumnya, kering dan berbatu. Tak seberapa luas, tapi ada tulang yang berserakan di situ. Penduduk sekitar menyebutnya Gua Tengkorak karena dulu banyak tulang-belulang manusia di sana yang konon sudah ada sejak masa pra-Islam.
Masih banyak tempat menarik lain di sana, seperti Pulau Kucing, gugusan karang kecil dengan dua pohon mangga besar, dan Kali Dingin, sungai yang airnya tetap dingin hingga bertemu dengan air danau yang hangat. Di Desa Mahalona, kurang dari sejam dari dermaga Soroako, kita bisa membasuh muka di Mata Air Bora-bora, yang letaknya hanya beberapa langkah dari tepi danau dan dasarnya sering mengeluarkan gelembung udara.
Desa itu dulu merupakan cikal-bakal Kerajaan Luwu dan penghasil besi terbaik di Nusantara. Hasil penelitian Australian National University menyebutkan desa itu sudah dihuni sekitar 2.000 tahun lalu dan tanahnya mengandung bijih besi. Besi dari desa inilah yang diperkirakan menjadi sumber bagi "pamor Luwu", kandungan khas pada keris dari Luwu, yang sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Peneliti memperkirakan pengolahan besi besar muncul di Matano pada abad ke-15 dan ke-16.
Gua Tengkorak dipenuhi tulang belulang, yang jadi salah satu spot terpencil di sekitar Danau Matano. TEMPO/Nita Dian