TEMPO.CO, Jakarta - Pagi nan riuh itu, sekelompok orang berbagai usia berbaris ke belakang. Barisan yang tak rapi itu, adalah sekumpulan wisatawan yang ingin bersantai sekaligus belajar ngomong Inggris di Desa Bahasa, Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Dengan aba-aba berbahasa Inggris, Azis, si pemandu memberi aba-aba dengan bahasa Inggris. Mereka kompak lencang depan.
“Go to forward!” teriak Azis.
Setiap peserta meneriakkan kata yang sama sambil melompat ke depan. Begitu juga dengan aba-aba go to back, go to left, atau pun go to right. Konsentrasi diperlukan untuk meneriakkan kata sembari menggerakkan badan sesuai kata yang diucapkan dengan tepat.
Apabila tak fokus, semisal saat instruksi “go to right” acapkali badan malah melompat ke samping kiri. Sanksinya, gincu pun dicorengkan di pipi. Mereka belajar dengan riang gembira.
Begitulah keseruan berlatih Bahasa Inggris di Desa Bahasa, Kamis, 11 Juli 2019 lalu. Tak memandang usia, anak-anak maupun orang tua berlatih dengan metode yang sama.
Desa Bahasa merupakan eco-tourism yang lahir dari keresahan Hani Sutrisno. Banyak turis berkunjung ke Candi Borobudur. Desanya yang bertetangga dengan Borobudur, memang menjanjikan pendapatan lebih. Namun tak bisa berkomunikasi dengan turis asing sama halnya menghadapi pepesan kosong.
“Dulu saya menjajakan kartu pos bilangnya, sir, buy me sir, buy me sir!” ucap Hani mengenang sambil tertawa. Hambatan komunikasi itu, membuat Hani bertekad bisa ber-cas-cis-cus Inggris dengan baik. Minimal dengan kemampuan Bahasa Inggris yang sederhana bisa untuk mencari duit.
Hani tak egois. Ia pun membagi kemampuannya kepada warga. Awalnya mengajak anak-anak muda berlatih bersama. “Tapi banyak yang enggak mau. Enggak berani,” kata Hani.
Padahal untuk bisa berbahasa Inggris, Hani harus berjuang keras. Selain belajar secara otodidak, ia belajar di Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Selama enam bulan di sana, ia berlatih grammar atau struktur bahasa dengan penempatan subyek, predikat, dan obyek.
Namun, metode itu ia anggap sulit bila dilakoni warga desanya. Ia ingin para tetangganya bisa berbahasa Inggris tanpa dipusingkan dengan grammar. Untuk urusan satu ini, ia berkonsultasi dengan gurunya yang juga pendiri Kampung Inggris Pare, Muhammad Kalend Osen.
“Pak, anak muda di Borobudur dan di Pare kok berbeda ya? Iya, karena orang datang ke Pare kemauannya tinggi. Kalau ke Borobudur belum tinggi,” kata Hani mengisahkan percakapannya dengan Kalend.
Atas bantuan Kalend, metode belajar grammar diganti dengan metode yang sederhana dan cepat. Peserta kursus belajar kosa kata atau vocabulary sambil bermain.
Pada 1998, Hani mulai mengajak warga belajar Bahasa Inggris lagi. Kali ini sasarannya para orang tua. Menurutnya, bila orangtua kursus bahasa Inggris, anak-anak mereka pun termotivasi.
Respon awalnya pun sama, menolak dengan alasan tak bisa. Hani tetap gigih merayu dengan mengatakan latihan cukup tiga kali saja dan gratis. Cara itu berhasil. Dalam pertemuan kursus kedua, salah satu perwakilan peserta dari orang tua menyampaikan permintaan. Mereka ingin kursusnya jangan cuma tiga kali, tapi diteruskan sampai mereka bosan.
“Akhirnya kursus sampai 2007. Yang bosan malah saya,” ucapnya lagi-lagi sambil tertawa.
Suasana tempat belajar Desa Bahasa di Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, 11 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana