Siang itu, Tempo berkunjung ke lokasi Tanah Ambles. Jaraknya berkisar satu kilometer dari Wisata Rumah Domes. Jalanan yang beraspal hanya bisa dilalui satu buah mobil dan menanjak dengan sudut kemiringan hampir 30 derajat.
Kiri kanan adalah lahan hutan jati yang hidup di tanah tandus. Dedaunan bertebaran karena pepohonan meranggas di musim kemarau. Di salah satu kemiringan jalan terdapat papan kayu bertuliskan “Klakson 3x”, inilah pintu masuk menuju Tanah Ambles.
Begitu masuk, selain panorama hutan, pemandangan pertama yang dilihat adalah tangki air dari beton dan potongan dinding bekas pagar teras rumah. “Tangki dan dinding itu bergeser dari lokasi asalnya. Sekitar tujuh meteran,” kata Aan.
Sejumlah bangunan rumah yang tak lagi untuh masih berdiri pada posisi miring di sana. Tinggal sebagian dinding tanpa atap. Ada juga dinding rumah yang terbelah.
Sementara lokasi tanah ambles tampak seperti jurang dengan kedalaman 3-4 meter dan panjang 500 meter. Tak lagi tampak bekas bangunan yang ambles di bawahnya. Tinggal gundukan tanah yang ditumbuhi aneka pepohonan.
“Awal gempa, tanah ambles sampai tujuh meter. Kena longsoran tanah jadi tinggal 3-4 meter,” kata Aan.
Suasana sunyi siang itu. Sebuah papan kayu dipajang di tepi jurang. Berisi penjelasan ringkas kondisi Kampung Nglepen pasca gempa. Ada 15 nama orang ditulis di sana yang merupakan pemilik rumah ambles. Mereka termasuk yang direlokasi ke Rumah Wisata Domes. Kawasan itu menjadi lokasi wisata.
“Tanah Ambles jadi arena untuk hiking. Juga jurit malam. Tapi sebelum jam 12 malam harus turun ke bawah,” kata Aan. Alasannya, lokasi itu kini dianggap wingit.
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta)