TEMPO.CO, Banda Aceh - Pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, dapat menikmati kuliner gratis setiap hari. Di sana, ada 300 paket makanan tradisional dan khas tiap daerah yang disediakan panitia.
Festival kuliner yang berlangsung hingga 14 Agustus ini resmi dibuka Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh Dyah Erti Idawati, Selasa 7 Agustus 2018. Kegiatan digelar di lapangan terbuka di depan Anjungan Bener Meriah dan Kota Banda Aceh. Di sana, dibangun stand yang menyediakan beragam makanan kuliner khas 22 kabupaten/kota di Aceh.
Kepala Dinas Pangan Aceh Ilyas, mengatakan, festival ini digelar untuk memperkenalkan kuliner tradisional masyarakat Aceh melalui kegiatan khanduri boh kayee (buah-buahan). Juga ada eksibisi hidangan khanduri kematian.
Selain itu juga tersedia beragam makanan dari 22 kabupaten/kota melalui pameran khas tradisional. "Kenduri hidangan khas Aceh diikuti 22 kabupaten/kota kecuali Kota Lhokseumawe,” kata Ilyas. Saban hari, kata dia, ada demo masak dan pembagian masakan kepada pengunjung lewat kupon sebanyak 300 porsi.
Setiap daerah wajib menyediakan satu makanan khas untuk dibagikan secara gratis. Namun dalam sehari, ada empat kabupaten/kota yang ditunjuk panitia menyiapkan sajian tersebut. Kegiatan demo masak ini berlangsung dari 8 Agustus sampai 13 Agustus.
Dyah Erti Idawati mengatakan, makanan tradisional dan andalan yang disajikan pada festival kuliner tersebut bertujuan untuk melestarikan dan menjaga kuliner setiap daerah. Selain makanan, buah-buahan yang sudah mulai langka di pasaran juga tersedia di sana. Ayo semua datang kemari, kita hidup sehat kemudian melestarikan kuliner Aceh," kata Dyah.
Menurut Dyah kuliner Aceh saat ini sangat diminati masyarakat nasional ataupun internasional. Selain mie Aceh yang sudah duluan kesohor, timphan dan rujak juga menjadi kuliner yang banyak diburu. Hanya saja, tingkat kepedasan kuliner Tanah Rencong harus disesuaikan dengan lidah masyarakat luar.
"Kita perlu menyesuaikan dengan selera internasional, nasional, karena orang Aceh suka pedas. Itu saja yang hrus dikurangi," ungkap Dyah.
ADI WARSIDI (Banda Aceh)