TEMPO.CO, Bandung -Puncak Everest (8848 mdpl) menjadi impian banyak pendaki di dunia. Pun duo pendaki mahasiswi Bandung, Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari yang berusia 24 tahun. Keduanya berhasil menjejakkankaki di atap dunia itu pada Kamis, 17 Mei, kemarin.
Anggota tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Unversitas Parahyangan (WISSEMU) itu mempersiapkan latihan fisik dan teknik selama hampir setahun sebelum menjelajahi Everest.
Baca juga: Dua Mahasiswi Indonesia Berhasil Mencapai Puncak Everest
Everest kerap ditempatkan sebagai misi pamungkas dalam ekspedisi Seven Summits, atau tujuh puncak gunung tertinggi di tujuh lempeng benua di bumi. Tim Wissemu pun menerapkan pola seperti itu. Pencapaian satu per satu puncak enam gunung dari Carstenz di Papua hingga Denali di Alaska pada kurun 2014-2017, menjadi rangkaian latihan fisik (juga persiapan logistik) untuk sampai ke puncak Everest. Dan tentu juga sampai kembali dengan selamat.
Usai turun dari puncak Denali, Fransiska dan Mathilda hanya sempat istirahat sebentar. Pola latihan pada medio 2017 harus segera disusun bersama para senior yang sebelumnya sukses sebagai tim Seven Summiters dari Indonesia. "Dimulai lari santai dari kampus ke Punclut selama 45 menit," kata Fransiska sebelum berangkat ke Everest.
Lari rutin itu untuk menjaga kebugaran fisik. Mulai September-November 2017 latihan mulai intens dengan ragam pola. Mereka misalnya latihan slide, berjalan kaki sambil membawa beban di punggung dan menyeret sebuah ban truk dengan tali.
Lain waktu mereka harus mendaki Gunung Burangrang seraya menanggung beban seberat 20-30 kilogram berkali kali. Tim juga melakukan yoga untuk melatih ketenangan, berenang untuk melatih pernafasan, dan panjat tebing sekaligus untuk meningkatkan mental terhadap ketinggian.Mathilda Dwi Lestari (kanan) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang dari tim WISSEMU dalam salah satu sesi latihan di kampus Unpar, Bandung, 9 Agustus 2017. Dalam latihan, mereka naik turun tangga di gedung bertingkat sebanyak sepuluh kali. TEMPO/Prima Mulia.
Latihan persiapan yang berat, kata Fransiska, yaitu simulasi pendakian menjelang puncak Everest di Bandung. Pada situasi menjelang puncak itu, mereka tidak boleh istirahat di tengah perjalanan panjang dari Camp 3. "Latihannya jalan muter-muter selama 24 jam tanpa istirahat," kata Fransiska.
Meskipun telah menempa fisik hingga terbang ke Nepal akhir Maret lalu, Fransiska dan Mathilda tak jumawa. Cita-cita mereka bercampur kepasrahan, karena hasil latihan bisa buyar oleh kondisi cuaca dan alam pegunungan Himalaya yang ekstrim. Pun ketika Mei menjadi waktu yang terbaik untuk pendakian ke puncak Everest.
Sebagai catatan, Mathilda pernah asma dan membawa cedera pada bantalan lutut kakinya. Hipotermia dan penyakit gunung lain juga mengintai. Wajib makan, minum, tidur cukup, dan rajin menggerakkan badan menjadi faktor penting, selain mengikuti perintah guide Hiroyuki Kuraoka asal Jepang. "Kami suka Hiro karena paham karakter pendaki Asia," kata Fransiska.
Persiapan faktor utama lain menyangkut dana ekspedisi dan logistik berjalan seiring latihan fisik. Ekspedisi yang disokong Bank Rakyat Indonesia serta Universitas Parahyangan itu sempat kekurangan dana dan membuka donasi publik. Menurut Fransiska, biaya ke Everest setidaknya sebesar Rp 1,8 miliar per orang.
ANWAR SISWADI (Bandung)