MALANG — Panitia penyelenggara Malang Tempo Doeloe (MTD) 2017 mensyaratkan para pengunjung berpakaian jadul untuk bisa menikmati suasana kemeriahan festival budaya tersebut.
Baca juga: Lomba Memarut Kelapa di Hajatan Malang Tempo Doloe
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Achmad Supriadi mengatakan, aturan ketat berpakaian jadul bertujuan untuk mengembalikan ruh MTD. “Penyelenggaraan tahun ini kami perhatikan betul-betul supaya pengunjung berbusana seperti Malang tempo dulu atau istilahnya busana lawasan,” kata Supriadi di sela persiapan MTD, Sabtu malam, 11 November 2017.
MTD 2017 yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Malang bersama Yayasan Inggi ditempatkan di sepanjang 1 kilometer jalan dari Simpang Balapan sampai depan Gereja Katedral Ijen, Minggu, 12 November. Pelaksanaannya hanya sehari mulai pukul 7 pagi sampai 11 malam.
MTD tetap menyajikan festival budaya Malang tempo dulu dan tahun ini MTD mengusung misi konservasi pohon kelapa bertema Klapa Jadi Apa.
Baca Juga:
Aturan ketat tersebut diberlakukan juga untuk membatasi jumlah pengunjung lantaran pelaksanaannya bersamaan dengan kegiatan hari bebas kendaraan alias car free day yang rutin diadakan di kawasan Jalan Ijen.
Menurut penggagas MTD Dwi Cahyono, busana lawasan tidak harus setelan kebaya dan jarik, tapi juga bisa pakaian jadul yang merujuk tren mode yang berkembang pada dekade 1960 dan 1970.
“Kalau dia seorang guru, kan identik dengan pakaian safari. Nah safarinya itu mencerminkan pakaian jadul era itu,” kata Dwi, yang juga Ketua Yayasan Inggil dan pemilik Restoran Inggil.
Panitia di pintu masuk dibantu tentara nanti mengecek pakaian yang dipakai pengunjung. Panitia harus memastikan seluruh peserta dan pengunjung MTD harus berbusana jadul.
Ketua PHRI Malang itu mengatakan, MTD tahun ini mengusung konsep berbeda. Bila sebelumnya menyuguhkan beragam makanan tradisional, MTD 2017 mengusung konsep konservasi pohon kelapa. Hal itu diwujudkan dalam aksi memarut dan memeras kelapa oleh seluruh peserta. Semua perlengkapan memarut harus peralatan tradisional, yakni berupa parutan kayu, tampah bambu, dan daun pisang. Kepala diperas dengan tangan.
Atraksi memarut dan memeras kelapa melibatkan 150 stan. Tiap stan mengirim 5 orang wakilnya untuk bersama-sama memarut dan memeras kelapa. Seluruh peserta nanti dibagi dalam sejumlah grup. Tiap grup beranggotakan 20 orang.
Dwi Cahyono menegaskan, dengan memberlakukan aturan ketat berbusana serta pelaksanaan aktraksi memarut dan memeras kelapa panitia benar-benar ingin mengembalikan jatidiri MTD seperti di awal-awal penyelenggaraannya, yakni mengenal dan belajar sejarah dan budaya Malangan.
Pelaksanaan beberapa MTD sebelumnya lebih menonjolkan hiburan dan keramaian layaknya pasar sehingga suasana jadi semrawut dan menimbulkan kemacetan yang parah. Alhasil, suasana Malang tempo dulu minim sampai akhirnya MTD dihentikan karena sudah campur aduk dengan pedagang kaki lima.
“Karena itu dengan sangat terpaksa MTD kami hentikan sejak 2012 dan penyelenggaranya bukan kami lagi,” kata Dwi.
ABDI PURMONO
Berita lain:
Paramitha Rusady Selalu Ingin Membawa Spirit Manado
10 Tempat Paling Ikonik untuk Memotret
Wangi Ayam Canton dan Tempe Kemul Restoran Asia
Tips Liburan Keluarga