Menyusuri Pecinan di Bandung, Ada Kopi sampai Baba Kuya
Editor
Susandijani
Sabtu, 28 Januari 2017 06:15 WIB
Tujuan kami berikutnya adalah Pasar Baru. Lokasi ini merupakan kawasan dagang para saudagar kaya asal Sunda, Jawa, Palembang, India dan Arab.
Pada 1884 pemerintah membangun Pasar Baru yang sebelumnya berlokasi di jalan Kepatihan dan bernama Pasar Ciguriang pada 1812, namun karena terjadi kebakaran hebat maka pasar Ciguriang tersebut dipindah ke lokasi Pasar Baru berada sekarang.
Baca juga: Imlek di Hotel, Ada Angpao dan Pohon Keberuntungan
Di kitaran Pasar baru ini, Anda bisa mendatangi Baba Kuya. Toko ini tak asing bagi pengguna obat herbal atau jamu tradisional. Berlokasi di jalan Pasar Barat no 44 atau tepatnya di samping belakang Pasar Baru, Baba Kuya sudah berdiri sejak 1800an oleh Tan Sioe How. Bahan ramuan yang digunakan turun temurun merupakan bahan nusantara yang diracik sesuai kebutuhan. Hingga saat ini ramuan Baba Kuya tidak hanya dipakai oleh Sinshe (pengobatan cina) tapi juga pengobatan moderen.
Sudah capek? Mampirlah ke Cakue Osin di jalan Babatan. Inilah warung cakue khas Tionghoa sejak tahun 1934. Toko yang hanya buka sejak pukul 07.00 - 11.00 ini, memiliki banyak menu khas, bukan hanya cakue ada juga Kompia dan Kue Cinsoko.
Menurut Irmawati istri dari pemilik cakue Osin ini, kebiasaan orang Tionghoa adalah sarapan bubur kacang tanah atau hokkian dengan cakue, sehingga warungnya hanya buka sejak pagi hingga siang untuk melayani sarapan para pembeli.
Selanjutnya: Kisah Hotel Surabaya di Kebonjati
<!--more-->
Jika sudah kenyang, perjalanan dilanjut lagi ke Jalan Kebonjati. Di sana ada Hotel Surabaya, atau yang kini dikenal sebagai hotel Gino Feruci, yang dibangun pada tahun 1884 oleh Tan Djin Gie. Tan Djin gie adalah seorang saudagar Batik Solo kaya, membangun komplek tersebut awalnya sebagai Landhuis atau kompleks tempat tinggal.
Baca juga: Jelang Imlek, Vihara di Bandung Siapkan Lilin Sembahyang
Perjalanan kami berakhir di Klenteng Satya Budhi. Klenteng ini dibangun oleh warga Tionghoa yang diprakarsai Letnan Tan Djoen Liong. Pada awalnya klenteng ini bernama kuil Hiap Thian Khong, yang artinya Istana Para Dewa. Klenteng ini dibangun pada jaman Dinasti Han dan telah dilakukan pemugaran pada tahun 1958 dan 1985.
Dulu klenteng ini terbuka untuk umum, namun saat ini penjagaan lebih diperketat karena aktivitas foto yang dilakukan dirasa mengganggu para jemaat yang akan melakukan sembahyang. Klenteng ini memiliki gaya arsitektur Tiongkon Selatan, didominasi warna merah dan ukiran yang artistik, tak.heran.kelenteng ini.menjadi favorit para jemaat berkunjung.
DWI RENJANI
Baca juga:
Tempat yang Tak Boleh Terlewat bila ke Yogyakarta
Imlek di Hotel, Ada Angpao dan Pohon Keberuntungan