Hernandez, Sang Gembala Kambing Tradisional Terakhir dari Spanyol
Reporter
Terjemahan
Editor
Ludhy Cahyana
Jumat, 27 September 2019 09:00 WIB
Pada musim dingin seperti ini, Hernández akan beruntung bertemu penggembala lain. Padahal saat ia masih anak-anak, sekitar selusin keluarga memimpin ternak mereka setiap hari di lereng curam ngarai Gorge of Hell. "Anda bahkan harus mengubah rute Anda sehingga tidak akan bertemu dengan kawanan kambing lain," katanya. “Saat ini hanya aku. Karena semua orang telah menghilang,” ujar Hernandez.
Di tanah lapang, Hernández dan kambing-kambingnya melewati “pondok penggembala” yang dibuat para penggembala-penggembala masa lalu – tradisi yang hidup selama berabad-abad. Tapi tanda-tanda itu bukan dari abad pertengahan, namun masih puluhan tahun lalu. Saat Hernández remaja, ia dan orang tuanya serta tiga saudara kembarnya menggembalakan kambing melewati jalan setapak dan jalan setapak. Melintasi desa dan padang rumput, lebih jauh ke selatan untuk menghabiskan musim panas dan musim gugur.
Kuliner Extremadura dari Kambing
Kakek-neneknya membangun pondok untuk beristirahat saat menggembala kambing. Bangunan semi permanen dengan batu pipih untuk membentuk lantai dan menata cabang-cabang pohon untuk membuat atap berbentuk kerucut. Setiap musim panas, keluarganya menambahkan lapisan piorno baru, untuk mencegah atap bocor karena hujan. Di dalamnya terdapat kamar tunggal yang berfungsi sebagai ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Soal mandi? “Cari di jalan,” canda Hernández.
Di bawah atap jerami itu, keluarga Hernández dan keluarga penggembala kambing lainnya menyiapkan hidangan -- yang sekarang dianggap sebagai makanan lezat di Extremadura – sopas canas. Sopas canas berupa "sup berambut putih" yang dibuat dari susu kambing yang dicampur dengan remah roti dan dibumbui dengan pimenton de la Vera, paprika yang langka dan dilindungi di seluruh Uni Eropa. Untuk hidangan penutup, mereka menggoreng pangsit telur dan remah roti, yang dimasak dalam susu kambing – biasa disebut sebagai sapillos. Atau nasi dengan susu kambing dan kulit jeruk untuk membuat arroz con leche.
Ketika Hernández membuat sup dengan anggur dan daun salam, ia menggunakan trik neneknya untuk menyelesaikan kaldu dengan hati yang dihaluskan. Dia merebus kaki dengan saus, atau membuatnya dengan nasi. Ibunya biasa menumis otak dan menambahkannya ke tortilla de patata yang khas Spanyol.
Cara favorit Hernández untuk membuat masakan dari otak: potong kambing muda menjadi dua di tengah, dari kepala ke ekor, lalu ikat daun laurel pada setengah kepala kambing untuk menjaga otak di dalamnya saat direbus. Bahkan usus dicuci bersih lalu diolah menjadi hidangan yang lezat. Hernández memasak usus itu dengan garam dan daun salam, memotongnya dengan halus, dan menumisnya dengan bawang, paprika, dan darah kambing sendiri, yang dalam khasanah kuliner Spanyol disebut sebagai chanfaina.
Dari orang tua dan kakek-neneknya, Hernández belajar tidak hanya cara memasak dengan susu kambing dan daging, tetapi bagaimana memainkan banyak peran yang diperlukan seorang gembala kambing. Di musim panas, ketika kambingnya melahirkan, Hernández adalah seorang bidan.
Dia seorang dokter hewan sepanjang tahun, memperbaiki kaki yang patah dan mengawasi bayi kambing yang terjepit kepalanya di sela-sela batu. Ketika kambing-kambing itu tenang, ia duduk di atas batu besar dengan pemandangan ngarai, lalu membuat ukiran lonceng dari pohon ek holm untuk satu ini, ia memperoleh referensi dari kakeknya.
Pada 2016, ia sempat mendirikan "Sekolah Gembala." Dengan pengikut di Facebook mencapai 1.000 orang lebih. Bahkan ia dijuluki sebagai El Cabrero del Infierno atau Goatherd of Hell, karena kepiawaian menggembala dan memasak daging serta susu kambing. Namun teleponnya tak berhenti berdering, dan membuatnya sibuk. Ia lalu memutuskan ingin bersama kambing-kambingnya. Saat cahaya memudar, Hernández menuntun veratasnya kembali menuruni bukit ke kandang batu.
Ketika Hernández masih kecil, orang tuanya membuat keju sendiri, terkadang diolesi dengan minyak zaitun dan pimenton, dan disimpan di pondokan pengembalaan mereka. Setiap minggu, di masa lalu, para penggembala mengambil keju-keju yang diperam di pondokan mereka untuk dijual ke pasar mingguan. Namun praktek ini juga susah mulai memudar, karena aturan sanitasi yang ketat di Spanyol.
Kehidupan desa di Spanyol juga mengalami masalah urbanisasi. Desa-desa kian sepi di Spanyol, Hernández sendiri pernah tergoda untuk pergi. Pada usia 19, ia menghabiskan sembilan bulan melakukan wajib militer di Madrid, dan kemudian sembilan tahun bekerja di sekitar Jerte di bidang kehutanan dan pertanian.
Sebagai seorang remaja, ia pernah membenci hari-hari penggembalaan yang panjang dan melelahkan. Tetapi ia membuktikan bahwa menjadi penggembala adalah kebahagiaan sekaligus takdir yang harus disyukuri. Lalu, pada usia 28, tahun ia memulai menggembalakan veratasnya sendiri.
Ya, dia bekerja 365 hari setahun, di bawah hujan, matahari, dan salju, tetapi, dia berkata, "Saya lebih puas, lebih bahagia daripada di tempat lain."