Ribuan lampion imlek bercahaya menghiasi kawasan Pasar Gede Solo, MInggu 27 Januari 2019. Lampion itu akan terpasang selama sebulan mendatang (TEMPO/Ahmad Rafiq)
TEMPO.CO, Solo - Suasana malam Minggu, 27 Januari 2019, di titik nol kilometer Kota Solo berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Pada malam itu, hingga satu bulan ke depan, kawasan itu bermandikan cahaya ribuan lampion imlek.
Lampion itu sebenarnya sudah mulai terpasang sejak dua pekan lalu. Hanya saja, selama ini lampion itu hanya gelap tidak menyala. "Baru malam ini lampu dalam lampion dinyalakan," kata Ketua Panitia Festival Imlek Solo 2019, Sumartono Hadinoto.
Nuansa penyambutan Tahun Baru imlek di Kota Solo mulai terasa saat melintas di Jalan Jenderal Sudirman. Hiasan lampion Imlek berwarna merah bertebaran di atas jalan protokol yang berada di depan balai kota itu.
Saat belok ke arah Pasar Gede Hardjonagoro, suasana Imlek semakin kental. Ribuan lampion menghias jembatan hingga di lingkungan pasar yang merupakan bangunan cagar budaya itu. Lampunya tidak hanya menyala diam namun kerlap kerlip memanjakan mata. Ribuan lampion imlek bercahaya menghiasi kawasan Pasar Gede Solo, MInggu 27 Januari 2019. Lampion itu akan terpasang selama sebulan mendatangi (TEMPO/ Ahmad Rafiq) Kawasan Pasar Gede sengaja dipilih sebagai pusat perayaan Imlek. Pada masa lalu kawasan itu menjadi sebuah pusat perekonomian masyarakat Tionghia di Solo. "Hingga kini masih banyak etnis Thionghoa yang berjualan di pasar tradisional ini," katanya.
Selama ini, lampion imlek selalu indentik dengan warna merah. Namun tahun ini memang berbeda. Panitia juga memasang lampion berwarna-warni meski warna merah tetap saja terlihat lebih dominan.
Masih di sekitar Pasar Gede, beberapa lampion berbentuk shio berjajar rapi, bersanding bersama lampion yang berbentuk tokoh wayang Punakawan. Penyandingan ini merupakan sebuah bentuk perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa.
"Kami memasang lima ribu lampion di kawasan ini," kata Sumartono. Hiasan itu akan terpasang hingga sebulan penuh. Saking banyaknya, panitia harus merogoh kocek hingga Rp 50 juta untuk membayar aliran listriknya selama sebulan.
Panitia seolah ingin memanjakan masyarakat yang gemar berswafoto. Meski baru malam pertama menyala, masyarakat langsung memadati kawasan tersebut. Kondisi itu membuat petugas Dinas Perhubungan terpaksa mengalihkan lalu lintas. Masyarakat pada akhirnya justru bisa berjalan dan berfoto dengan leluasa.
Salah satu warga Karanganyar, Dwi Anita mengaku pada awalnya hanya melintas di jalan tersebut. "Ternyata lampionnya sudah menyala," katanya. Dia pun memilih untuk berhenti dan memarkir kendaraannya demi berfoto-foto bersama temannya.
"Pulangnya nanti malam sekalian menunggu jalan sudah tidak macet," katanya. Jika lapar, mereka tinggal singgah ke pedagang kuliner yang sudah banyak menunggu pembeli di kawasan penuh lampion itu.