TEMPO.CO, Banyuwangi – TNI Angkatan Laut dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Properti, mendirikan Monumen Operasi Lintas Laut Jawa-Bali di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur. Peletakan batu pertama pembangunan monumen itu dilakukan oleh Pejabat Bupati Banyuwangi Zarkasi dan Komandan TNI AL Pangkalan Banyuwangi Letnan Kolonel Wahyu Endriawan, Jumat pagi 15 Januari 2016.
Wahyu Endriawan, menjelaskan, monumen tersebut untuk mengenang Operasi Lintas Laut Jawa-Bali pada 5 April 1946. Operasi oleh Pasukan-M yang dipimpin Kapten Markadi itu berhasil mengalahkan Belanda yang mencoba menguasai Pulau Jawa setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Dalam buku Pasukan-M: Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang (2012) karya Iwan Santosa dan Wenri Wanhar, kata Wahyu, peperangan di Selat Bali merupakan pertempuran laut pertama yang dimenangkan Angkatan Laut Indonesia semenjak Indonesia merdeka. “Dengan monumen ini, berharap masyarakat tahu sejarah dan mengambil nilai-nilai positifnya,” kata Wahyu Endriawan kepada wartawan, Jumat.
Monumen Operasi Lintas Laut Jawa-Bali nantinya berbentuk segi empat dengan ornamen jangkar kapal seperti yang dipakai Pasukan Markadi. Sekeliling bangunan akan dipahat relief yang menggambarkan pertempuran Selat Bali.
Wahyu enggan menyebutkan anggaran pembangunan monumen. Menurut dia, anggaran berasal dari PT Pelindo Properti, anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia III. PT Pelindo berencana menjadikan Pantai Boom sebagai Pelabuhan Marina pada 2017.
Keluarga besar veteran TNI AL Bali turut hadiri dalam acara itu. Salah satu perwakilan keluarga veteran, Dewangkara, mengatakan, pembangunan monumen itu melibatkan pemahat asal Yogyakarta, Gunardi. Menurut dia, jasa Kapten Makardi cukup besar sehingga Operasi Lintas Laut Jawa-Bali itu bisa mengalahkan Belanda di Selat Bali. “Setelah keberhasilan Kapten Makardi mengalahkan Belanda, pasukan Ngurah Rai akhirnya bisa melintasi Selat Bali,” kata dia.
Dalam buku Pasukan-M: Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang (2012), dikisahkan, sebanyak 2 ribu pasukan sekutu dan Belanda mendarat di Pantai Sanur, Bali pada 2 Maret 1946. Kedatangan Sekutu ke Tanah Air ini rupanya diboncengi oleh Belanda yang tak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki Bali sebagai batu loncatan untuk menguasai Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan RI. Belanda akan memakai sumber daya alam Indonesia untuk membiayai rehabilitasi negeri Kincir Angin itu yang hancur akibat penguasaan Nazi Jerman (1940-1945).
Markas Besar Umum Angkatan Laut RI (ALRI) kemudian memerintahkan adanya Operasi Laut Lintas Jawa-Bali. Operasi tersebut merupakan pendaratan gabungan pertama antara pasukan laut dan pasukan darat di Bali. Operasi itu akan dilaksanakan secara bertahap oleh tiga kompi yakni pasukan pimpinan Kapten Waroka, Pasukan-M pimpinan Kapten Markadi, dan pasukan TRI AD dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai.
Dari tiga kompi itu hanya Pasukan-M yang berasal dari luar Banyuwangi yakni Malang. Pasukan Waroka merupakan satu dari empat kompi yang dimiliki Pangkalan X Banyuwangi. Sementara pasukan Ngurah Rai, sebelumnya mundur dari Bali dan bertahan di Banyuwangi untuk mencari tambahan senjata.
Pasukan Makardi menggunakan 16 perahu dan jukung milik nelayan sekitar Pantai Boom. Mereka melintasi Selat Bali pada pukul 21.00. Namun tiba-tiba, Pasukan-M bertemu dua kapal Belanda yang sedang berpatroli, dua mil sebelum Pulau Dewata. Adu senjata pun meletus di Selat Bali. Pelaut Belanda membombardir perahu prajurit Indonesia dengan browning kaliber 12,7 mm.
Belanda beberapa kali menabrakkan kapalnya jenis Landing Craft Mechanized (LCM) ke jukung Pasukan-M. Saat itulah, Pasukan-M membalas dengan melemparkan sejumlah granat ke kapal Belanda. Bagian dek dan lambung kapal Belanda akhirnya terbakar dan empat prajuritnya tewas.
Dalam pertempuran laut selama 15 menit itu, Pasukan-M berhasil menang. Setelah kembali ke Banyuwangi dan beristirahat selama 10 jam, Pasukan-M kembali berlayar pada malam harinya. Mereka berhasil mendarat di Bali, dan bergerilya membantu pasukan Ciung Wanara yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai melawan NICA.
IKA NINGTYAS