Meninggalkan kampung nelayan di tepi Sebangau dengan segala mitosnya, kami kembali ke desa. Sinar matahari yang tepat berada di atas ubun-ubun sudah begitu menyengat. Di tengah perjalanan mengarungi sungai, saya bertemu dengan penghobi mancing. “Sebangau memang pernah masuk acara Mancing Mania. Sejak itu banyak penghobi datang kemari,” kata Berson.
Setengah jam usai berjumpa dengan penghobi mancing. Tiba-tiba, teriakan Berson mengagetkan saya. “Orangutan. Orangutan,” teriaknya sambil menunjuk pucuk dahan sebuah pohon.
Ahmad dengan cekatan mematikan mesin perahunya. Ia lalu merapatkan perahu ke tepian sungai. Terlihat jelas ada orangutan (Pongo pygmaeus) yang sedang rehat di atas pohon. Ia sendirian saja.
Mulanya ia nangkring dan terpaku di atas pohon, tak menyadari kehadiran kami yang hanya berjarak lima meter dari pohonnya. Ketika Ahmad mulai mengeluarkan suara-suara aneh dengan nada melengking, orangutan itu baru memalingkan wajahnya ke arah kami.
Makin lama Ahmad mengeluarkan suara yang makin berisik. Saya sudah mengingatkannya agar orangutan itu tak diganggu. Tapi Ahmad tetap saja bandel dan makin menjadi-jadi menggoda orangutan.
Benar saja. Orangutan itu lalu membalas dengan suara yang tak kalah melengking lalu bergelayut pindah ke pohon sebelah. Dengan tangkas ia mematahkan ranting-ranting. Menatanya di dahan kokoh. Lama-kelamaan ranting itu menutupi seluruh tubuhnya seolah bersembunyi. Sesekali ia mengintip. Lucu benar tingkah orangutan yang kesepian ini.
Suyoko mengatakan orangutan yang dijumpai di pinggir sungai biasanya sedang dalam perjalanan mencari makan. Selain itu ia akan membuat sarang jika hari sudah terlampau sore. “Setiap hari ia bisa berpindah-pindah pohon untuk mencari tempat tidur yang nyaman,” ia menjelaskan.
Kami meninggalkan si Pongo beristirahat di puncak pohon. Semakin lama kami mengaguminya, semakin sore kami tiba. Si Pongo menutup perjalanan yang manis di Sebangau yang hitam legam.
Selanjutnya: Tip menyusuri Sebangau