TEMPO.CO, Jakarta - Di lorong dengan cahaya sedikit temaram itu langkah saya tertahan sejenak. Sedikit keraguan menyergap saat hendak menyusuri jalan yang membujur sepanjang sekitar 100 meter tersebut. Koridor selebar lima meter ini diapit bangunan-bangunan lama peninggalan era kolonial. Tak banyak orang melintas berjalan kaki pada malam itu. Hanya sesekali suara kendaraan bermotor yang datang dari arah utara memecah kesunyian. Sekelompok orang memang berkumpul di mulut jalan. Tapi selebihnya sepi.
Semua yang tampak itu begitu saja membawa imaji saya kepada suasana muram yang kerap dibangun dalam film-film. Saya berusaha meyakini bahwa semua aman saja. Maka, kaki pun mulai menyusuri sepotong ruas jalan di kawasan yang disebut Kota Lama Semarang itu. Kupasang pancaindra cermat-cermat untuk mencerap sebanyak mungkin suasana sekitar.
Kubaca tadi di ujung koridor ada tetenger: Jalan Branjangan. Bagi saya yang baru pertama kali menyambangi kawasan ini, suasana yang tersaji sebenarnya cukup eksotik. Melengkapi deretan bangunan kolonial di sini, ada tiang-tiang listrik lawas yang masih dipertahankan. Susunan conblock yang melapisi landasan jalan cukup menyatu dengan arsitektur sekitar. Di ujung sana terdapat bangunan kuno yang seolah menjadi batas jalan ini—sebenarnya ruasnya menyempit ke rah samping gedung itu.
Saya rasa ini awal yang menarik untuk memulai blusukanku di Kota Lama. Dan rasanya saya tidak salah pilih ketika tadi memutuskan menyatroni wilayah ini. Ya, hanya punya waktu semalam di Semarang, pada November 2015 itu, saya agak bingung memanfaatkan waktu. Biasanya, saat mampir di sebuah kota, saya punya cara mengenali jantung peradabannya: mendatangi pasar tradisional dan/atau kawasan kota tua. “Kalau begitu, kamu harus datang ke Pasar Johar dan ke kawasan Kota Lama,” kata Hesti, kawan yang tadi sore menjemput saya di Stasiun Tawang. Akhirnya saya pilih ke Kota Lama saja.
Dan seperti yang selalu kulakukan saat menjelajah sebuah tempat, saya datang dengan pikiran terbuka. Saya tak menyiapkan ekspektasi apa pun tentang tempat yang bakal dikunjungi. Saya hanya akan menerima yang terlihat dan lalu merasakannya. Dan, barangkali dari situ ada hal-hal yang bisa terpetik untuk memperkaya pengetahuan, juga batin. Ehm….
Nadi utama kawasan Kota Lama adalah Jalan Suprapto, yang membujur dari timur ke barat. Dan Jalan Branjangan adalah pertigaan pertama yang kutemui sesaat berjalan dari arah barat. Pelan-pelan saya menikmati semuanya: udara malam, bangunan kolonial yang sebagian dibiarkan kusam, grafiti pada tembok, dan sorot lampu kendaraan yang sesekali datang dari arah depan. Semuanya.
Saat sampai di bangunan ujung itu, ternyata cukup banyak remaja tengah bersantai di sana. Tak sedikit yang berpose dan saling potret dengan latar bangunan tua itu. “Kebanyakan bangunan di sini dulunya adalah pabrik,” kata Farah dan Safa, dua remaja yang saya ajak ngobrol. Saya tak tahu kebenaran keterangannya, biarlah nanti bisa kulacak lewat berbagai sumber. Tapi saya suka dua remaja itu terlihat cukup berusaha mengenal masa lalu kotanya sendiri. Mereka lalu berfoto di emperan sebuah bangunan. Dan, klik! Kameraku pun ikut mengabadikan keduanya.
Seusai tuntas menyusuri bolak-balik ruas ini, saya bagai menemukan lead sebuah tulisan. Sebuah pendahuluan yang mengawali sekaligus memberi bingkai pemahamanku atas Kota Lama. Sekurangnya saya memahami, inilah area yang tengah mengalami problem identitas pada dirinya: hendak mempertahankan kekunoannya, ataukah dengan malu-malu beradaptasi dengan masa kini? Sebuah destinasi yang tengah berada di persimpangan jalan.
Bangunan di timur jalan rata-rata terlihat begitu kusam, sedangkan deretan di sebelah barat lumayan bersih namun terlihat sudah mulai berkurang keasliannya. Misalnya, beberapa pintu sudah mulai diberi rolling door yang menjadikan wajah bangunan terlihat janggal. Hal itu dilakukan barangkali karena bangunannya dimanfaatkan untuk perkantoran.
Apakah langkahku berikutnya untuk mengenali kawasan ini bakal memperkuat kesimpulan awal tersebut? Saya tidak tahu. Saya akan menerima saja apa yang terlihat dan terasakan nanti.
Saya pernah membaca bahwa, ketika mulai dibangun pada abad ke-18 dulu, kawasan Kota Lama ini dirancang seperti kota-kota di Eropa pada masa itu. Secara arsitektur, bangunannya besar-besar, termasuk pintu dan jendelanya. Lalu dilengkapi dengan kaca-kaca berwarna dan bentuk atap yang unik. Detail bangunan, ornamen, serta unsur dekoratifnya pun khas Eropa. Semuanya mencuatkan kesan umum: kuat dan cantik!
Tak hanya itu. Dalam penataan kawasan pun demikian, terasa selera Eropa. Jika dilihat dari atas, kawasan ini akan memusat ke sebuah titik, yakni Gereja Blenduk dan sebuah bangunan kolonial yang mungkin dulu menjadi semacam kantor administrasi kota. Kini bangunan itu menjadi kantor sebuah perusahaan asuransi. Dalam sebuah kesempatan menyambangi salah satu negara Eropa sebelumnya, saya memang mendapati kesan demikian. Gedung pemerintahan, agama, dan pendidikan menjadi sumbu utama dari sebuah jantung kota.
Di sekeliling Kota Lama ini terdapat kanal-kanal yang dibangun untuk menahan banjir. Saya sempat melihatnya tadi siang saat meninggalkan Stasiun Tawang. Kondisinya sedikit kurang terawat. Kanal-kanal yang mengelilingi kota inilah, antara lain, yang membuat Kota Lama juga dijuluki miniatur Belanda (Little Netherland).
Saya kini mulai melangkah menyusuri Jalan Suprapto menuju pusat Kota Lama. Udara lumayan sejuk malam itu, sedikit menepis cuaca panas siang yang menyengat sebelumnya. Apalagi tadi gerimis sempat turun saat saya menuju kemari dari hotel tempat menginap.
Ini jalur satu arah, sehingga arus kendaraan datang dari depan. Tidak terlalu ramai, tapi terasa unik melihat kendaraan-kendaraan bagus itu melintasi kawasan kuno ini. Ada juga kendaraan becak yang mengantarkan pengguna ke jarak-jarak terjangkau. Becak, rasanya, lebih cocok untuk suasana di Kota Lama ini. Mungkinkah jika kawasan ini sebaiknya dibebaskan saja dari kendaraan bermotor, dan pemerintah setempat menyediakan sepeda bagi turis atau siapa pun untuk menjelajahi areanya? Ah, saya bukan warga kota ini, mana mungkin bisa usul macam-macam?
Saya berjalan hingga ke ujung Jalan Suprapto. Di timur sana, ruas ini bertemu dengan Jalan Cendrawasih. Inilah ruas yang menjadi etalase bangunan-bangunan khas kolonial. Mulai dari sebuah bangunan besar di kiri jalan yang tampaknya bekas pabrik. Tembok luarnya disaput warna putih dan merah. Agak maju lagi, di sebelah kanan, terdapat bangunan cantik yang kini menjadi sebuah kantor asuransi.
Berbentuk huruf L dan banyak jendela-jendela yang membujur ke atas, memberi kesan dulunya ini sebuah kantor pemerintah. Di depan halaman, banyak kaum muda menghabiskan malam minggu di sana seraya saling memotret.
Gedung ini bersebelahan dengan sebuah bangunan yang kini dimanfaatkan sebagai rumah makan khas Sunda. Dari luar, tampak banyak pengunjung tengah menikmati menu yang ditawarkan. Apakah tempat itu dulu juga rumah makan bagi para tuan dan noni Belanda sat melepas penat? Sepertinya suasana di dalam cukup nyaman. Tapi karena waktu yang sempit, saya memilih meneruskan langkah.
Saya bukan seorang arsitek, tapi saya bisa melihat betapa ruas jalan ini demikian kaya memamerkan berbagai corak bangunan yang beragam namun kental “bau” kolonialnya. Lihatlah kafe Spiegel yang demikian berbeda dengan dua penginapan di ujung jalan. Yang satu kokoh dengan tembok kekar menjulang, sedangkan pada yang satunya lagi kesan kaku itu dilunakkan dengan unsur kayu pada kusen-kusen jendela dan pintu yang lebar. Penginapan itu terasa cekli—mungil, resik, dan terasa nyaman. Menyenangkan, hanya dengan sekali jalan bisa berkenalan dengan beragam arsitektur masa silam.
Tetapi demikianlah, sumbu dari Jalan Suprapto, bahkan sekaligus menjadi pusat dari kawasan Kota Lama seluas 31 hektare ini, tetaplah Gereja Blenduk. Dan, pada malam itu, keramaian meruak di Taman Sri Gunting yang berada persis di samping gereja. Dan boleh dikata di sanalah saya menghabiskan waktu paling lama pada malam Minggu itu.
TULUS WIJANARKO