Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menelusuri Miniatur Belanda di Kota Lama Semarang  

Editor

Nurdin Kalim

image-gnews
Seorang remaja berpose di depan gedung tua, Kota Lama, Semarang. TEMPO/Tulus Wijanarko
Seorang remaja berpose di depan gedung tua, Kota Lama, Semarang. TEMPO/Tulus Wijanarko
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Di lorong dengan cahaya sedikit temaram itu langkah saya tertahan sejenak. Sedikit keraguan menyergap saat hendak menyusuri jalan yang membujur sepanjang sekitar 100 meter tersebut. Koridor selebar lima meter ini diapit bangunan-bangunan lama peninggalan era kolonial. Tak banyak orang melintas berjalan kaki pada malam itu. Hanya sesekali suara kendaraan bermotor yang datang dari arah utara memecah kesunyian. Sekelompok orang memang berkumpul di mulut jalan. Tapi selebihnya sepi.

Semua yang tampak itu begitu saja membawa imaji saya kepada suasana muram yang kerap dibangun dalam film-film. Saya berusaha meyakini bahwa semua aman saja. Maka, kaki pun mulai menyusuri sepotong ruas jalan di kawasan yang disebut Kota Lama Semarang itu. Kupasang pancaindra cermat-cermat untuk mencerap sebanyak mungkin suasana sekitar.

Kubaca tadi di ujung koridor ada tetenger: Jalan Branjangan. Bagi saya yang baru pertama kali menyambangi kawasan ini, suasana yang tersaji sebenarnya cukup eksotik. Melengkapi deretan bangunan kolonial di sini, ada tiang-tiang listrik lawas yang masih dipertahankan. Susunan conblock yang melapisi landasan jalan cukup menyatu dengan arsitektur sekitar. Di ujung sana terdapat bangunan kuno yang seolah menjadi batas jalan ini—sebenarnya ruasnya menyempit ke rah samping gedung itu.

Saya rasa ini awal yang menarik untuk memulai blusukanku di Kota Lama. Dan rasanya saya tidak salah pilih ketika tadi memutuskan menyatroni wilayah ini. Ya, hanya punya waktu semalam di Semarang, pada November 2015 itu, saya agak bingung memanfaatkan waktu. Biasanya, saat mampir di sebuah kota, saya punya cara mengenali jantung peradabannya: mendatangi pasar tradisional dan/atau kawasan kota tua. “Kalau begitu, kamu harus datang ke Pasar Johar dan ke kawasan Kota Lama,” kata Hesti, kawan yang tadi sore menjemput saya di Stasiun Tawang. Akhirnya saya pilih ke Kota Lama saja.

Dan seperti yang selalu kulakukan saat menjelajah sebuah tempat, saya datang dengan pikiran terbuka. Saya tak menyiapkan ekspektasi apa pun tentang tempat yang bakal dikunjungi. Saya hanya akan menerima yang terlihat dan lalu merasakannya. Dan, barangkali dari situ ada hal-hal yang bisa terpetik untuk memperkaya pengetahuan, juga batin. Ehm….

Nadi utama kawasan Kota Lama adalah Jalan Suprapto, yang membujur dari timur ke barat. Dan Jalan Branjangan adalah pertigaan pertama yang kutemui sesaat berjalan dari arah barat. Pelan-pelan saya menikmati semuanya: udara malam, bangunan kolonial yang sebagian dibiarkan kusam, grafiti pada tembok, dan sorot lampu kendaraan yang sesekali datang dari arah depan. Semuanya.

Saat sampai di bangunan ujung itu, ternyata cukup banyak remaja tengah bersantai di sana. Tak sedikit yang berpose dan saling potret dengan latar bangunan tua itu. “Kebanyakan bangunan di sini dulunya adalah pabrik,” kata Farah dan Safa, dua remaja yang saya ajak ngobrol. Saya tak tahu kebenaran keterangannya, biarlah nanti bisa kulacak lewat berbagai sumber. Tapi saya suka dua remaja itu terlihat cukup berusaha mengenal masa lalu kotanya sendiri. Mereka lalu berfoto di emperan sebuah bangunan. Dan, klik! Kameraku pun ikut mengabadikan keduanya.

Seusai tuntas menyusuri bolak-balik ruas ini, saya bagai menemukan lead sebuah tulisan. Sebuah pendahuluan yang mengawali sekaligus memberi bingkai pemahamanku atas Kota Lama. Sekurangnya saya memahami, inilah area yang tengah mengalami problem identitas pada dirinya: hendak mempertahankan kekunoannya, ataukah dengan malu-malu beradaptasi dengan masa kini? Sebuah destinasi yang tengah berada di persimpangan jalan.

Bangunan di timur jalan rata-rata terlihat begitu kusam, sedangkan deretan di sebelah barat lumayan bersih namun terlihat sudah mulai berkurang keasliannya. Misalnya, beberapa pintu sudah mulai diberi rolling door yang menjadikan wajah bangunan terlihat janggal. Hal itu dilakukan barangkali karena bangunannya dimanfaatkan untuk perkantoran.

Apakah langkahku berikutnya untuk mengenali kawasan ini bakal memperkuat kesimpulan awal tersebut? Saya tidak tahu. Saya akan menerima saja apa yang terlihat dan terasakan nanti.

Saya pernah membaca bahwa, ketika mulai dibangun pada abad ke-18 dulu, kawasan Kota Lama ini dirancang seperti kota-kota di Eropa pada masa itu. Secara arsitektur, bangunannya besar-besar, termasuk pintu dan jendelanya. Lalu dilengkapi dengan kaca-kaca berwarna dan bentuk atap yang unik. Detail bangunan, ornamen, serta unsur dekoratifnya pun khas Eropa. Semuanya mencuatkan kesan umum: kuat dan cantik!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya itu. Dalam penataan kawasan pun demikian, terasa selera Eropa. Jika dilihat dari atas, kawasan ini akan memusat ke sebuah titik, yakni Gereja Blenduk dan sebuah bangunan kolonial yang mungkin dulu menjadi semacam kantor administrasi kota. Kini bangunan itu menjadi kantor sebuah perusahaan asuransi. Dalam sebuah kesempatan menyambangi salah satu negara Eropa sebelumnya, saya memang mendapati kesan demikian. Gedung pemerintahan, agama, dan pendidikan menjadi sumbu utama dari sebuah jantung kota.

Di sekeliling Kota Lama ini terdapat kanal-kanal yang dibangun untuk menahan banjir. Saya sempat melihatnya tadi siang saat meninggalkan Stasiun Tawang. Kondisinya sedikit kurang terawat. Kanal-kanal yang mengelilingi kota inilah, antara lain, yang membuat Kota Lama juga dijuluki miniatur Belanda (Little Netherland).

Saya kini mulai melangkah menyusuri Jalan Suprapto menuju pusat Kota Lama. Udara lumayan sejuk malam itu, sedikit menepis cuaca panas siang yang menyengat sebelumnya. Apalagi tadi gerimis sempat turun saat saya menuju kemari dari hotel tempat menginap.

Ini jalur satu arah, sehingga arus kendaraan datang dari depan. Tidak terlalu ramai, tapi terasa unik melihat kendaraan-kendaraan bagus itu melintasi kawasan kuno ini. Ada juga kendaraan becak yang mengantarkan pengguna ke jarak-jarak terjangkau. Becak, rasanya, lebih cocok untuk suasana di Kota Lama ini. Mungkinkah jika kawasan ini sebaiknya dibebaskan saja dari kendaraan bermotor, dan pemerintah setempat menyediakan sepeda bagi turis atau siapa pun untuk menjelajahi areanya? Ah, saya bukan warga kota ini, mana mungkin bisa usul macam-macam?

Saya berjalan hingga ke ujung Jalan Suprapto. Di timur sana, ruas ini bertemu dengan Jalan Cendrawasih. Inilah ruas yang menjadi etalase bangunan-bangunan khas kolonial. Mulai dari sebuah bangunan besar di kiri jalan yang tampaknya bekas pabrik. Tembok luarnya disaput warna putih dan merah. Agak maju lagi, di sebelah kanan, terdapat bangunan cantik yang kini menjadi sebuah kantor asuransi.

Berbentuk huruf L dan banyak jendela-jendela yang membujur ke atas, memberi kesan dulunya ini sebuah kantor pemerintah. Di depan halaman, banyak kaum muda menghabiskan malam minggu di sana seraya saling memotret.

Gedung ini bersebelahan dengan sebuah bangunan yang kini dimanfaatkan sebagai rumah makan khas Sunda. Dari luar, tampak banyak pengunjung tengah menikmati menu yang ditawarkan. Apakah tempat itu dulu juga rumah makan bagi para tuan dan noni Belanda sat melepas penat? Sepertinya suasana di dalam cukup nyaman. Tapi karena waktu yang sempit, saya memilih meneruskan langkah.

Saya bukan seorang arsitek, tapi saya bisa melihat betapa ruas jalan ini demikian kaya memamerkan berbagai corak bangunan yang beragam namun kental “bau” kolonialnya. Lihatlah kafe Spiegel yang demikian berbeda dengan dua penginapan di ujung jalan. Yang satu kokoh dengan tembok kekar menjulang, sedangkan pada yang satunya lagi kesan kaku itu dilunakkan dengan unsur kayu pada kusen-kusen jendela dan pintu yang lebar. Penginapan itu terasa cekli—mungil, resik, dan terasa nyaman. Menyenangkan, hanya dengan sekali jalan bisa berkenalan dengan beragam arsitektur masa silam.

Tetapi demikianlah, sumbu dari Jalan Suprapto, bahkan sekaligus menjadi pusat dari kawasan Kota Lama seluas 31 hektare ini, tetaplah Gereja Blenduk. Dan, pada malam itu, keramaian meruak di Taman Sri Gunting yang berada persis di samping gereja. Dan boleh dikata di sanalah saya menghabiskan waktu paling lama pada malam Minggu itu.

TULUS WIJANARKO

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


KCIC Sebut Cuaca Buruk Picu Keterlambatan Perjalanan Kereta Cepat Whoosh

4 jam lalu

Kereta berkecepatan tinggi Whoosh yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. (ANTARA/Fitra Ashari)
KCIC Sebut Cuaca Buruk Picu Keterlambatan Perjalanan Kereta Cepat Whoosh

Cuaca buruk membuat perjalanan kereta cepat Whoosh mengalami keterlambatan. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) memberi kompensasi makanan dan minuman untuk penumpang.


Daftar Pertanyaan yang Sering Diajukan saat Wawancara Visa

9 hari lalu

ilustrasi visa (pixabay.com)
Daftar Pertanyaan yang Sering Diajukan saat Wawancara Visa

Biasanya petugas akan menanyakan beberapa pertanyaan untuk menentukan kelayakan mendapatkan visa


Maskapai Penerbangan ini Buat Penerbangan Misterius yang Tidak Diketahui Tujuannya

10 hari lalu

Maskapai penerbangan SAS. Instagram.com/@flysas/@bravojulietspotting
Maskapai Penerbangan ini Buat Penerbangan Misterius yang Tidak Diketahui Tujuannya

Salah satu penumpang merasa antusias mengikuti penerbangan yang memberikan pengalaman unik


Pentingnya Power Nap Saat Perjalanan Jauh, Ini Maksudnya

10 hari lalu

Ilustrasi tidur di dalam mobil. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Pentingnya Power Nap Saat Perjalanan Jauh, Ini Maksudnya

Tidur singkat atau power nap dapat membantu masyarakat menjaga kesehatan fisik dan mental selama perjalanan jauh dengan kendaraan. Kenapa penting?


Terpopuler: Arus Balik Lebaran KAI Tawarkan Promo Tarif Spesial, Cek Titik Rawan Macet dan Kecelakaan Arus Balik Lebaran

10 hari lalu

Sejumlah pemudik kereta api Jaka Tingkir berjalan keluar setibanya di Stasiun Senen, Jakarta, Minggu 14 April 2024. Angka kedatangan akan terus bertambah seiring pemesanan tiket arus balik yang masih tersedia. Arus balik diprediksi mulai tanggal 13, 14 dan 15 April 2024. Pada tanggal-tanggal tersebut terdapat sebanyak 44.000 - 46.000 lebih penumpang per harinya yang menuju Jakarta. TEMPO/Subekti.
Terpopuler: Arus Balik Lebaran KAI Tawarkan Promo Tarif Spesial, Cek Titik Rawan Macet dan Kecelakaan Arus Balik Lebaran

PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI memberikan promo tarif spesial selama masa arus balik Lebaran.


KAI Commuter Tambahkan 8 Perjalanan di Hari Pertama Kerja Besok

10 hari lalu

Sejumlah penumpang KRL Commuter Line menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Senin 12 Juni 2023. Menurut keputusan Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan nomor 17 Tahun 2023 tentang Protokol Kesehatan pelaku perjalanan orang dengan transportasi kereta api pada 12 Juni 2023, penumpang diperbolehkan tidak menggunakan masker apabila dalam keadaan sehat serta tidak berisiko tertular atau menularkan COVID-19 dan KAI Commuter selaku operator KRL Commuter Line menghimbau seluruh penumpang untuk tetap melakukan vaksinasi COVID-19. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
KAI Commuter Tambahkan 8 Perjalanan di Hari Pertama Kerja Besok

KAI Commuter memprediksi akan ada lebih dari 850 - 900 ribu pengguna commuter line Jabodetabek di hari pertama kerja, pasca libur Lebaran 2024.


7 Hal Penting saat Merawat Motor Matic Setelah Mudik

12 hari lalu

Ilustrasi merawat motor. (Sumber: Yamaha)
7 Hal Penting saat Merawat Motor Matic Setelah Mudik

Motor perlu dirawat setelah digunakan saat mudik. Ini deretan komponen yang perlu dicek?


5 Tips Jitu Hindari Kehabisan Tiket Pelabuhan Penyeberangan saat Arus Balik

12 hari lalu

Pemudik berjalan keluar dari kapal di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten, Sabtu 13 April 2024. PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) memprediksi puncak arus balik dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa terjadi pada tanggal 13 sampai 14 April. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
5 Tips Jitu Hindari Kehabisan Tiket Pelabuhan Penyeberangan saat Arus Balik

Jangan biarkan arus balik Lebaran jadi berantakan karena kehabisan tiket kapal. Ikuti tips ini untuk mengamankan tiket penyeberangan


Spanyol Tawarkan Program Perjalanan Bersubsidi untuk Pensiunan

13 hari lalu

Ilustrasi lansia traveling. Freepik.com/Rawpixel.com
Spanyol Tawarkan Program Perjalanan Bersubsidi untuk Pensiunan

Program perjalanan khusus pensiunan ini tersedia setiap tahun selama 'musim sepi' dari bulan Oktober hingga Juni.


Mengurangi Risiko Mabuk Perjalanan Saat Mudik, Simak 5 Kiat Ini

16 hari lalu

Ilustrasi arus mudik dan balik Lebaran. TEMPO/Hilman Fathurrahman
Mengurangi Risiko Mabuk Perjalanan Saat Mudik, Simak 5 Kiat Ini

Risiko mabuk perjalanan dapat bertambah parah atau mudah kambuh saat duduk tak searah, misalnya menghadap ke belakang atau samping.