TEMPO.CO, Jambi - Deru mesin perahu yang kutumpangi memecah keheningan Sungai Batanghari, Jambi. Melaju pelan, perahu meninggalkan dermaga Pelabuhan Pelayangan, Provinsi Jambi. Inilah saatnya mengarungi sungai terpanjang di Pulau Sumatera, sekaligus menikmati sisa-sisa kejayaan Batanghari yang pernah tercatat dalam sejarah.
Saya menyewa perahu bermesin satu ini, atau yang disebut getek, dengan ongkos Rp 70 ribu. Harga ini tak tentu, tergantung seberapa pandai Anda melakukan tawar-menawar. Biaya tersebut saya anggap murah karena perahu akan mengantar berkeliling hingga satu jam. Selain untuk berwisata, getek-getek ini adalah transportasi utama bagi masyarakat Kota Seberang Jambi yang akan beraktivitas ke Kota Jambi.
Mata air Batanghari berasal dari Gunung Rasan, yang mengalir sejauh 800 kilometer melewati delapan kabupaten di Sumatera Barat, termasuk Provinsi Jambi. Di Jambi sendiri, Batanghari membelah kota. Saya disuguhi deretan pabrik-pabrik karet tua di tepian Batanghari.
Jambi memang penghasil utama komoditas karet di Sumatera. Nyawa pabrik-pabrik karet itu sangat bergantung pada Batanghari untuk memasok batu bara sebagai bahan bakar. Batanghari, dengan kedalaman antara 8-12 meter, memungkinkan dilayari kapal pengangkut batu bara dan kapal perdagangan lainnya.
Ada dua jembatan yang saya nikmati dalam perjalanan ini. Jembatan pertama adalah jembatan pendestrian sepanjang 532 meter, yang sedang dalam tahap pengerjaan. Jembatan berbentuk huruf S ini menghubungkan Kota Jambi dengan Kota Seberang Jambi. Di ujung jembatan ini, bertenggerlah Gentala Arasy, sebuah menara jam setinggi 32 meter. Gentala ini akan menjadi ikon baru Kota Jambi yang lengkap dengan pusat kuliner dan museum.
Berikutnya adalah Jembatan Batanghari II sepanjang 1,35 kilometer yang tak kalah eloknya. Jembatan berbentuk lengkungan ini menghubungkan Kota Jambi dengan Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Jabung Timur. Jembatan Batanghari II ini menjadi tempat favorit untuk berfoto ketika menjelajah Batanghari.
Ketika kapal berputar meninggalkan Jembatan Batanghari II, tampaklah deretan rumah panggung masyarakat Kota Seberang Jambi. Mereka mendirikan rumah lebih tinggi di atas Sungai Batanghari. Senen, pemilik getek yang kutumpangi, bercerita, setiap selesai hujan, Batanghari selalu meluap dan menjadikan bawah rumah warga seperti rawa-rawa. Tapi hampir sebagian besar dari mereka yang terlihat memakai Batanghari untuk mandi dan mencuci. “Kecuali minum sudah tersedia air bersih,” tutur Senen yang berasal dari Kota Seberang Jambi .
Batanghari sejatinya sudah terkenal sejak abad ke-7 Masehi. Dari sinilah awal mula nama Swarnadwipa dilekatkan untuk menyebut Pulau Sumatera. Swarnadwipa dalam bahasa Sansekerta, yang artinya Pulau Emas. Ya, sistem aliran Sungai Batanghari ini telah membawa banyak deposit emas. Sejak dulu hingga sekarang, banyak bermunculan pertambangan emas di sepanjang aliran sungai anakan Batanghari.
Batanghari pernah menjadi titik penting perdagangan di Sumatera. Di sungai ini pernah tumbuh peradaban Kerajaan Melayu hingga Kerajaan Sriwijaya. Jejak-jejak Kerajaan Melayu dan Sriwijaya itu kini bisa disaksikan di kompleks Candi Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Kompleks candi ini membentang seluas 260 hektare dan merupakan yang terluas di Indonesia.
Namun, kejayaan Batanghari agaknya memang tinggal cerita. Kondisi Batanghari saat ini jauh berbeda. Pertambangan emas yang tumbuh tak terkendali di anakan Sungai Batanghari telah menyisakan limbah merkuri. Padahal, sejumlah warga masih memanfaatkan Batanghari untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Saya langsung teringat pada tiga ribu warga Teluk Minamata, Jepang, yang mengalami penyakit aneh karena tercemar merkuri. Bisa saja tragedi Minamata ini akan berulang di Batanghari.
Belum lagi persoalan hutan di bagian hulu yang banyak beralih menjadi kebun sawit. Alur Sungai Batanghari berubah, erosi dan terjadinya pendangkalan. Akibatnya, saat hujan, Batanghari akan mudah meluap dengan air berwarna kecokelatan, seperti yang sedang saya saksikan saat ini. Batanghari yang tadinya membawa manfaat, sewaktu-waktu berubah mengancam menjadi bencana.
Saya menerawang jauh sebelum getek merapat kembali ke dermaga. Di tengah kepuasan menjelajah Batanghari, timbulah rasa masygul yang tiada tara. Ternyata bangsa ini selalu gagal belajar dari sejarah. Gagal membawa Batanghari kembali berjaya.
IKA NINGTYAS
VIDEO TERKAIT