TEMPO.CO, Ternate - Sekilas, pohon ini tak jauh berbeda dengan pepohonan lain yang telah menemui ajal. Batangnya kering, dahan-dahannya kering-kerontang, tak ada lagi daun di ujung-ujung rantingnya. Namun pagar beton setinggi kurang lebih setengah meter yang mengelilinginya memberi kesan bahwa pohon ini bukanlah pohon biasa.
Ya, pohon ini memang bukan pohon biasa, melainkan Afo generasi kedua yang merupakan keturunan pertama Afo generasi pertama—sebutan bagi pohon cengkeh tertua di Ternate. Tak hanya di Ternate, Afo I diyakini sebagai pohon cengkeh tertua di dunia.
“Pohon Afo generasi kedua ini mati sekitar tahun lalu,” ujar Syamsuddin, Kepala Bagian Perencanaan Dinas Pariwisata Kota Ternate, ketika ditemui di perkebunan yang menjadi lokasi pohon Afo II, 19 Oktober lalu. Afo II terletak di lereng Gunung Gamalama, tepatnya di Kampung Air Tege-Tege, sekitar 5,5 kilometer dari pusat kota. Untuk mencapai lokasi Afo II, kita harus menyusuri jalan tanah kecil yang menanjak. Panjangnya sekitar seratus meter.
Syamsuddin menyebutkan, dalam hidupnya, Afo II mencapai tinggi sekitar 16 meter dan menghasilkan 200 kilogram cengkeh berkualitas tinggi saat panen.
Adapun pohon Afo generasi pertama—yang diperkirakan berumur sekitar 400 tahun—dulunya berlokasi satu kilometer dari Afo II. Sayang, Afo I ini mati lebih dari tiga dekade lalu. “Pohon Afo generasi pertama itu besar sekali, tingginya mencapai 30 meter lebih, dan kelilingnya bisa dipeluk sampai tujuh orang dewasa,” ujarnya.
Wali Kota Ternate Burhan Abdurahman menyayangkan kematian Afo II yang usianya diperkirakan sekitar 200 tahun. “Karena ini sudah terjadi, maka langkah selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah menjaga generasi ketiga dan keempat Pohon Afo,” ujarnya.
Tak berlebihan bila menyebut Afo sebagai saksi bisu sejarah rempah Indonesia, bahkan dunia. Pasalnya, saat itu Pulau Ternate, bersama Tidore, Moti, Makian, dan Bacan menjadi satu-satunya sumber rempah dunia. Silih berganti Afo menyaksikan kedatangan bangsa Spanyol, Belanda, dan Inggris berebut monopoli perdagangan rempah. Afo I lolos dari upaya Belanda memusnahkan sebagian pohon cengkeh pada abad ke-17 demi mengontrol harga komoditas ini.
Sirkulasi rempah dunia sebenarnya dimulai jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Kepulauan Maluku. Bahkan penemuan arkeologis tertua tentang rempah adalah sebuah wadah keramik yang ditemukan di Suriah, tepi sungai Efrat, dan diperkirakan berasal dari tahun 1700 sebelum Masehi.
Cengkeh juga telah dikenal di Kerajaan Cina, setidaknya dua abad sebelum Masehi. Konon, kaisar ketika itu mewajibkan para pembesar yang akan menghadapnya untuk mengunyah cengkeh terlebih dulu. Tempo sempat menyicipi cengkeh segar. Tempo langsung merasakan sensasi pedas menyegarkan seperti mint dalam kunyahan pertama, ditambah sedikit rasa pahit dan wangi cengkeh yang kuat. Pantas saja bila ribuan tahun lalu cengkeh dikunyah layaknya permen penyegar napas masa kini.
Selama ini, alasan yang banyak dikaitkan dengan perburuan rempah condong pada hal yang bersifat pragmatis, seperti digunakan sebagai pengawet makanan atau bahan obat. Namun sejarawan JJ Rizal menyebutkan ada alasan lain di balik kepopuleran rempah—yang saking populernya kemudian disamakan dengan emas.
“Dalam studi kontemporer, masalah cari duit justru belakangan. Rempah-rempah dicari karena kemisteriusannya,” ujarnya pertengahan Oktober lalu. Ia menyebutkan para sastrawan dan pujangga membangun mitos dan reputasi bahwa rempah-rempah adalah makanan para dewa, para nabi, atau malaikat di surga.
“Rempah-rempah juga disebut sebagai afrosidiak, bahwa Aphrodite parfumnya berasal dari rempah. Hera juga digambarkan membaluri badannya dengan rempah untuk kembali memikat Zeus, suaminya. Jadi ada gambaran misterius tentang rempah,” ujarnya.
Ihwal sejarah rempah Indonesia, JJ Rizal menyayangkan pengabaian yang selama ini terjadi. Padahal, hal ini merupakan salah satu kepingan terpenting dari sejarah Indonesia. “Misalnya saja hingga saat ini, tidak ada museum yang representatif tentang sejarah rempah,” ujarnya.
Untungnya, saat ini Pemerintah Kota Ternate tengah menggodok rencana pembuatan museum rempah, yang akan berlokasi di Benteng Oranje yang saat ini sedang direvitalisasi. “Karena, dalam sejarah, Ternate dulu dikenal sebagai pusat rempah dunia. Ini adalah salah satu upaya kita, karena kita tidak ingin sejarah itu hilang,” ujar Wali Kota Burhan.
RATNANING ASIH