TEMPO.CO, Wakatobi - "Mata uang" poka ternyata tidak mengalami fluktuasi seperti layaknya mata uang pada sistem ekonomi saat ini. Soalnya, mata uang konvensional itu adalah mata uang adat penduduk Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang berlaku sejak 2010.
Peneliti sejarah dan budayawan asal Binongko, La Rabu Mbaru, mengatakan pemberlakuan mata uang itu sesuai dengan keputusan adat Nomor 189.1/02/adat/2013 tertanggal 28 Agustus 2013 tentang sanksi hukum adat tradisi. Mata uang ini diberlakukan, kata dia, demi menjaga kelangsungan kehidupan alam, khususnya biota bawah laut. "Ini memberi efek jera," kata La Rabu kepada rombongan World Wide Fund for Nature (WWF) dan media seusai acara pelepasan penyu.
Baca Juga:
Poka dengan nominal tertentu wajib dibayarkan jika ada orang atau kelompok tertangkap melanggar hukum adat yang telah disepakati di sekitar Pulau Binongko. Misalnya mengebom untuk menangkap ikan. Si pengebom akan dikenai denda 1.042 poka. Satu poka sama dengan Rp 24 ribu. Berarti pengebom harus membayar denda "Sekitar Rp 25 juta," kata La Rabu.
Contoh lain, jika orang mengambil kura-kura laut atau penyu, maka orang itu akan kena 25 poka atau sekitar Rp 600 ribu. Kemudian, jika mengambil lumba-lumba, paus, ataupun duyung, seseorang akan disanksi 260 poka atau sekitar Rp 6 juta. Sanksi adat juga mencakup pengambilan pasir dan batu di pantai, penebangan pohon, dan masih banyak lagi. Hukum ini berlaku baik bagi warga setempat maupun orang luar.
Kata La Rabu, separuh uang denda adat diberikan kepada lembaga adat dan sisanya menjadi hadiah bagi si penangkap pelanggar hukum. Dengan pembagian ini, keterlibatan masyarakat guna menjaga kelestarian kawasan konservasi Wakatobi menjadi tinggi. "Kalau tidak bayar, kami serahkan ke polisi agar dipenjara," tuturnya.
HERU TRIYONO
Topik terhangat:
Tragedi JIS | Jokowi | Prabowo | Rachmat Yasin | Emon
Berita terpopuler:
Setelah Sutan Tersangka, KPK Incar Anggota DPR Lain
Puan Sebut Dirinya Calon Wakil Presiden
Fan Rhoma Irama Sobek Lambang PKB