TEMPO.CO , Tegal - Sejumlah ibu muda bersama anak-anak mereka asyik menyaksikan acara sembahyang di Klenteng Tek Hay Kyong Tegal, Senin, 23 Januari 2012. Mereka berdesakan hingga pintu masuk kelenteng untuk menyaksikan ruang dalam sejumlah altar tempat sembahyang yang sengaja dibuka untuk umum.
Kebanyakan pengunjung yang merupakan para ibu dan anak-anak ini seakan tak peduli dengan perbedaan status etnis dan kepercayaan mereka. Mereka tampak sekadar menikmati suasana kelenteng yang dibangun sekitar 305 tahun lalu itu.
“Kebetulan ini liburan, sekalian ajak dua cucu untuk melihat lilin dan ritual doa,” ujar Maimunah, salah seorang warga jalan Ababil Kota Tegal, saat mengunjungi Klenteng Tek Hay Kyong kemarin.
Maimunah dan para pengunjung lain pun tak peduli Senin, 23 Januari 2012, kemarin merupakan hari tenang karena acara perayaan tahun baru Imlek ramai pada malam sebelumnya dengan dua atraksi Barong Say dan liong atau naga. “Namun tak apa, kami tetap senang dengan nuansa merah dan pernak-pernik yang jarang kami temukan setiap hari,” ujar Maimunah. Ia pun mengaku takjub dengan 356 lilin besar yang dinyalakan di halaman kelenteng.
Halaman kelenteng dewa pelindung bagi agama Kong Hu Cu ini ramai. Bahkan ruas Jalan Gurame di depan kelenteng dipenuhi kendaraan bermotor pengunjung yang terus berdatangan.
Selain menyaksikan lilin dan lampu lampion, para pengujung pun dimanjakan dengan sejumlah mainan khas Imlek yang dijual pedagang mainan di sekitar lokasi kelenteng. Mereka menjual miniatur barongsay, naga, lampu lampion, dan sejumlah aksesori lain seperti kalung dan perhiasan serta kembang api.
Agus Fardianto, salah seorang petugas keamanan Klenteng Tek Hay Kyong, mengaku sengaja membiarkan sejumlah pengunjung menikmati wisata dadakan di tempat ibadah yang ia jaga. Ia mengaku kebijakan terbuka ini sudah lama diberlakukan Yayasan Tri Dharma Kota Tegal yang mengelola kelenteng.
“Yang datang ke sini tak hanya jemaat kelenteng, tapi masyarakat umum, asal mereka tertib,” ujar Agus kemarin.
Bahkan keberadaan kelenteng untuk memuja dewa pelindung ini sebenarnya tak hanya khusus umat beragama Kong Hu Cu, tapi juga dari warga Tionghoa beragama lain seperti Buddha dan Hindu. ”Kehadiran mereka saat Imlek atas dasar kepercayaan nenek moyang,” ujar Eko.
Ia mengakui kehadiran ibu-ibu berjilbab yang beragama muslim di Kota Tegal Ini lebih pada kekaguman dengan dan aktivitas kelenteng saat ada ritual ataupun momentum hari-hari besar. “Kami tetap menjaga, apa pun identitasnya, karena warga Tionghoa juga terbuka terhadap siapa pun,” katanya.
EDI FAISOL