TEMPO Interaktif, :Bagi kebanyakan orang Indonesia, rasanya tak puas makan tanpa rasa pedas. Sebuah toko di Bandung mengumpulkan berbagai sambal dan bumbu rasa pedas lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian dikirim untuk pesanan mahasiswa atau keluarga Indonesia di luar negeri.
Puluhan botol sambal berjejer di rak. Jenisnya mulai dari yang kering sampai basah berminyak. Ada sambal Makasar, rujak, petis, sambal bajak, sambal ikan peda, sambal oncom, dan kecap.
Sambal yang agak ekslusif pun tersedia. Misalnya olahan rumah makan Bu Rudy di Surabaya, dan sambal dari restoran Eastern di Bandung. “Sebelumnya banyak pembelinya yang minta bungkusin sambal pas pulang, jadi sekarang mereka jual terpisah,” kata Willy Hono, 28 tahun, pemilik Toko Serba Lada.
Masuk ke Toko Serba Lada (Toserda) di Jalan Pajajaran Nomor 4, Bandung, yang dibuka setahun lalu itu serasa masuk ke tempat kolektor aneka makanan serba pedas. Lada adalah kata lain pedas dalam bahasa Sunda. Sarjana Matematika dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu sendiri mengaku tak begitu suka makanan pedas. “Saya suka cari dan cicipi untuk jualan di toko,” ujarnya.
Sekarang ada 120 merek dan jenis makanan pedas di toko bekas gudang berukuran 5 x 6 meter itu. Mulai dari permen jahe pedas, coklat pedas, minuman teh pedas, cabai bawang kering, abon pedas, jagung, kacang, dan tongkol super pedas. Adapula beberapa makanan impor seperti aneka mie.
Di deretan rak bumbu ada lada dan merica, dan yang terbanyak kudapan pedas, seperti baso goreng, batagor, seblak, gurilem, kentang, ketela, singkong, pangsit, makaroni, dan kerupuk yang merah merona bertabur bubuk cabai. Harga seluruh jenis makanan dan bumbu pedas itu dibawah Rp 30 ribu.
Umumnya, kata Willy, koleksinya hasil olahan rumah tangga yang tidak ada di toko, dan sebagian belum berizin dari badan kesehatan. “Urus izin itu kan lama dan butuh biaya, sedangkan mereka industri rumah tangga dan baru berjualan, kita maklum saja,” katanya.
Walau begitu, kualitas kontrol tetap dijaga ketat. Misalnya dari kemasan, rasa, dan harga. Ia mengaku selalu mencicipi semua makanan yang dijual di tokonya bersama istri, karyawan, dan beberapa rekan. Setelah dinilai layak, Willy menjualnya langsung juga lewat toko online yang buka 24 jam. “Omzet per bulan berkisar Rp 40-50 juta,” katanya.
Pembeli bumbu dan lauk pedas umumnya ibu-ibu. Sedangkan pelajar dan mahasiswa biasa mencari kudapan pedas. Sebagian dikirim ke berbagai kota di Indonesia, juga Belanda. “Suka ada ibu-ibu yang cari untuk bekal anaknya di Australia dan Singapura,” ujarnya. Willy berencana terus menambah koleksi makanan pedas di tokonya, terutama dari seluruh Indonesia.
ANWAR SISWADI