TEMPO.CO, Jakarta - Festival Pacu Jalur 2024 dibuka secara resmi pada Rabu, 21 Agustus 2024 di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Lomba perahu tradisional, yang dikenal dengan jalur dalam bahasa lokal, diikuti oleh 225 jalur.
Acara ini menjadi salah satu dari 10 Top Event Karisma Event Nusantara 2024. acara ini digelar setiap tahun dan dihadiri oleh jutaan pengunjung selama beberapa hari penyelenggarannya.
Sejarah Jalur
Pacu jalur yang menjadi kebanggaan masyarakat Kuansing ini bermula pada abad ke-17, menurut laman resmi Kabupaten Kuansing. Perahu tradisional ini awalnya merupakan sarana transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan yang berada di sepanjang Sungai Kuantan. Sungai ini terletak di Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.
Jalur dibuat dari satu pohon tanpa sambungan. Bentuknya panjang. Sebelum mengambil kayu besar, seluruh masyarakat harus melakukan ritual terlebih dahulu. Tujuannya untuk menghormati dan meminta izin kepada hutan belantara saat mengambil kayu yang besar.
Satu jalur bisa menampung 40 hingga 60 orang. Selain untuk transportasi penduduk, jalur juga menjadi satu-satunya alat angkut hasil bumi seperti pisang dan tebu.
Lama-kelamaan, jalur dibuat makin indah dengan ditambahkan ukiran, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Banyak juga yang dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Jalur pun tidak lagi sebagai alat angkut, tetapi juga identitas sosial. Saat itu hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.
Awal Mula Pacu Jalur
Satu abad kemudian, keberadaan jalur dibuat makin menarik sampai digelar lomba adu kecepatan jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama pacu jalur.
Awalnya lompa perahu tradisional ini digelar di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, atau bahkan untuk merayakan Tahun Baru Islam.
Pada 1890, pada masa penjajahan Belanda, acara ini digelar untuk memeriahkan perayaan adat, memperingati hari lahir Wilhelmina (Ratu Belanda) yang setiap 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Kolonial dimulai pada tanggal 31 Agustus sampai 1 atau 2 September, tergantung jumah perahu yang ikut serta.
Setelah kemerdekaan Indonesia, festival ini semakin berkembang, diselenggarakan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Itu sebabnya Festival Pacu Jalur selalu digelar Agustus.
Filosofi Pacu Jalur
Festival Pacu Jalur tidak hanya menampilkan kecepatan laju perahu, tetapi juga warna warni kostum dan dentum suara meriam penanda mulai lomba, serta teriakan pemberi semangat peserta.
Satu jalur bisa menampung 50-60 orang (anak pacu) yang memiliki masing-masing, mulai dari tukang concang (komandan atau pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), dan tukang onjai (pemberi irama dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan terakhir adalah tukang tari atau anak coki yang berada di posisi paling depan.
Tukang tari menjadi anggota yang paling menarik perhatian pacu jalur karena selalu diisi oleh anak-anak. Anak-anak memiliki berat badannya paling ringan sehingga perahu bisa melaju dengan cepat. Gerakan yang dilakukan tukang tari ini memiliki makna tersendiri. Mereka menari di depan jalur kalau perahu yang dikendarainya unggul. Kalau sudah sampai garis finish, tukang tari ini akan langsung sujud syukur di ujung perahu.
Pilihan Editor: Mengenal Pacu Jalur dari Kuansing yang Viral Sampai ke Negara Tetangga