TEMPO.CO, Yogyakarta - Persoalan sampah yang belakangan kian serius dihadapi di Yogyakarta membuat kalangan pelaku ekonomi kreatif turut prihatin. Sebab, Yogyakarta sebagai kota wisata, mengandalkan kunjungan wisata yang selama ini menghidupi ribuan pelaku ekonomi kreatif di dalamnya. Kelangan pelaku ekonomi kreatif yang merasa cemas dengan persoalan sampah itu salah satunya datang dari kelompok desainer fesyen.
Sampah Pakaian Bisa Didaur Ulang Jadi Produk Bermanfaat
"Kami sedih melihat di antara sampah-sampah yang berserakan itu, ternyata ada sampah pakaian yang sebenarnya ketika tidak layak pakai bahannya bisa diolah menjadi produk bermanfaat," kata desainer asal Yogya yang juga pendiri brand Farah Button, Sutardi, saat dihubungi, Sabtu, 5 Agustus 2023.
Desainer yang belakangan getol mengkampanyekan pengurangan limbah industri fesyen itu mengatakan, persoalan sampah yang dihadapi berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta, semestinya membuat semua pihak tanpa kecuali turut waspada. Sehingga fenomena sampah yang berlebihan atau tak terangkut tidak sampai terjadi berulang-ulang.
"Persoalan sampah bukan sekadar kebiasaan membuang sampah sembarangan," kata pria yang memiliki 300 karyawan itu menekankan, "Namun juga kebiasaan penggunaan bahan pabrikan yang punya sifat sulit terurai alam dan kebiasaan memanfaatkan dan mengolah bahan-bahan yang ramah lingkungan."
Sutardi menuturkan masyarakat termasuk kalangan desainer bisa berperan aktif, bagaimana langkahnya mengurangi limbah. "Untuk desainer misalnya bisa mulai menciptakan karya fesyen yang bahannya bisa di-upcycle atau didaur ulang sembari menaikkan kualitasnya ketika tidak terpakai lagi oleh pemiliknya," kata Sutardi.
Desainer Harus Peka Olah Limbah Tak Terpakai
Dorongan mengolah limbah tak terpakai agar tak menjadi bagian sampah yang menumpuk, kata Sutardi, bisa tumbuh ketika desainer punya kepekaan. "Bayangkan saja misalnya di antara tumpukan sampah itu, ternyata ada hasil karya atau buatan kita, yang seperti dibuang begitu saja," kata Sutardi yang juga menginisiasi gerakan ramah lingkungan bertajuk More Green dalam berbagai kesempatan fashion show yang ia ikuti.
Sutardi menceritakan, gerakan More Green yang ia gaungkan mengajak masyarakat bersama sama mengolah limbah fesyen menjadi produk fesyen lain dengan kegunaan yang berbeda. Seperti diolah menjadi karet rambut, bandana, tas, dan sebagainya.
“Jadi dari bekas fesyen tak terpakai itu kita dapat produk-produk fesyen lain yang bisa digunakan atau malah dijual kembali,” ujar Sutardi. Sutardi menuturkan pihaknya juga siap membeli dan menampung produk-produknya yang sudah rusak atau tak terpakai oleh konsumen dengan harga maksimal 20 persen dari harga beli dalam bentuk buy back atau tukar tambah. Lewat langkah itu, masyarakat, kata Sutardi, menjadi berpikir ulang untuk membuang fesyen bekasnya menjadi sampah yang tak teruai, yang akhirnya menumpuk mencemari lingkungan.
Pilihan Editor: Jaga Kenyamanan Wisata, Pedagang Pasar Yogyakarta Diminta Bawa Pulang Sampah