TEMPO.CO, Malang - Forum Ekowisata Jawa Timur (East Java Ecotourisme Forum) meminta ada keterbukaan dalam proses pembangunan proyek wisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Terlebih, proyek tersebut menimbulkan kritik karena dikhawatirkan akan mengganggu konservasi lingkungan.
Ketua Forum Ekowisata Jawa Timur Agus Wiyono menyarankan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk memerintahkan semua petugas TNBTS yang kantornya di desa-desa penyangga mensosialisasikan program kerja pengembangan lokasi wisata baru. Setiap perubahan zonasi pengelolaan kawasan taman nasional terbesar kelima dari 12 taman nasional di Pulau Jawa patut pula dikabarkan kepada pemerintah dan warga desa-desa penyangga.
“Masak ada perubahan zonasi, yang tahu orang Jakarta dulu, bukan warga di desa-desa penyangga. Padahal, nanti merekalah yang pertama kali merasakan dampaknya,” kata Agus kepada Tempo, Selasa, 14 September 2021.
Agus sendiri sampai sekarang tidak mengetahui persis jumlah lokasi proyek wisata yang ditawarkan oleh Balai Besar TNBTS kepada investor. Ia tak tahu investor-investor yang permohonan izinnya sedang diproses maupun investor yang sudah mengantongi izin usaha penyediaan sarana wisata alam atau IUPSWA.
Agus hanya tahu PT Winuta Alam Indah (WAI) yang memperoleh IUPSWA untuk mengelola lahan konsensi seluas 2 hektare di Blok Jemplang di Dusun Jarak Ijo, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Ketiadaan komunikasi terbuka maupun sosialisasi bisa mencegah kasak-kusuk berujung tudingan jelek pada pengelola TNBTS. “Biar tercapai win-win solution bagi kedua pihak,” ujarnya.
Manajer Kampanye Walhi Jatim Wahyu Eka Setyawan juga menuntut hal serupa. Bahkan Walhi meminta Balai Besar TNBTS untuk membuka dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Amdal pembangunan sarana dan prasarana wisata alam baru, sekaligus mengumumkan terbuka kajian detail wilayah pengembangan wisata dalam kawasan taman nasional terluas kedua di Provinsi Jawa Timur itu.
“Jangan sampai ada komersialisasi kawasan TNBTS yang berakibat pada kerusakan sumber daya alam dan ekosistem kawasan,” kata Eka.
Penthongan Jemplang, salah satu titik pandang yang terancam terkena proyek wisata dalam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. TEMPO/Abdi Purmono
Kepala Balai Besar TNBTS Novita Kusuma Wardani sudah membantah kecurigaan Walhi, khususnya pengerjaan proyek wisata oleh PT WAI di Jemplang. Ia memastikan pelaksanaan proyek wisata Jemplang tetap berpijak pada kaidah-kaidah konservasi dan menghormati kebudayaan Tengger serta memenuhi prosedur perizinan yang berlaku.
“Pembangunan proyek di Jemplang sudah prosedural. Kami sudah dua kali mengadakan konsultasi publik dengan stakeholders, terutama dengan masyarakat dan pemerintah desa Ngadas,” kata Novita pada Jumat sore, 10 September 2021.
Menurut Novita, kawasan TNBTS seluas 50.276 hektare terbagi dalam tujuh zona, yaitu zona inti (17.028 hektare), zona rimba (26.806 hektare), zona pemanfaatan (1.193 hektare), zona rehabilitasi (2.139 hektare), zona tradisional (3.041 hektare), zona khusus (61,56 hektare), dan zona religi seluas 5,18 hektare.
Khusus zona pemanfaatan masih dibagi dua lagi, yaitu ruang publik dan ruang usaha. Selain Jemplang, TNBTS memang membuka ruang usaha di dalam zona pemanfaatan dengan luas keseluruhan 127 hektare atau 10,64 persen dari seluruh luas zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan bisa digunakan secara terbatas untuk keperluan tertentu semacam penelitian, pendidikan dan wisata terbatas.
Namun Novita harus lihat data dulu untuk menyebutkan rincian data ruang publik dan ruang usaha yang dimaksud. “Masih sebagian kecil ruang usaha yang sudah dikeluarkan izinnya. Khusus PT Winuta, ruang usaha yang dibangun tidak boleh melebihi 10 persen dari luas konsesi yang didapat,” ujarnya.