Jejak peninggalan kolonial terlihat kuat pada bangunan gereja berasitektur Eropa di kawasan cagar budaya Kota Kediri ini. Warna gedungnya yang merah menarik perhatian pengguna jalan yang melintas di depannya. “Warga Kota Kediri mengenalnya dengan sebutan gereja merah,” kata Imam Mubarok, sejarawan Kota Kediri saat dihubungi TEMPO, Senin 9 Desember 2019.
Imam menjelaskan pada mulanya gereja yang dibangun pada tanggal 21 Desember 1904 ini berwarna putih. Namun pada tahun 1969 warnanya diganti merah dan dipertahankan hingga sekarang.
Perubahan warna tersebut, menurut Imam, sama sekali tidak mengubah bangunan gereja yang dibangun oleh JA Broers. Ia adalah pendeta asal Belanda yang diutus pemerintahan Hindia-Belanda mengajarkan agama Protestan di Kediri. Baru pada tahun 1948, gereja ini diserahkan pemerintah Belanda kepada pengurus gereja asli pribumi.
Kemegahan gereja merah sudah tampak dari halaman depan. Menaranya yang tinggi menjulang menjadi pemandangan utama sekaligus wajah dari gereja Immanuel. Di bawahnya terpasang jendela kaca berukuran besar yang merupakan ornamen asli bangunan ini.
Memasuki pintu utama gereja terpampang plakat pendirian bangunan dari marmer. Selain menjelaskan tanggal pendirian, tercantum pula nama J.A. Broers sebagai pendeta pertama. Plakat itu tertempel tepat di sebelah kanan pintu gereja yang terbuat dari kayu ukir berukuran besar.
Eksotisme gereja ini makin kuat saat memasuki tempat peribadatan. Atmosfir peribadatan masa lampau muncul dari benda-benda kuno yang dipertahankan hingga kini. Mulai dari jendela, mimbar, hingga tangga yang masih terawat dan berfungsi dengan baik. “Ada beberapa perbaikan tetapi tidak sampai mengubah bangunan,” kata Lorens Hendrik, koster gereja saat berbincang dengan TEMPO.
Gereja Merah Kediri dibangun pada tanggal 21 Desember 1904, mulanya berwarna putih lalu dicat merah pada 1960-an. TEMPO/Hari Tri Warsono
Selain benda-benda kuno yang merupakan peninggalan pengurus gereja masa lampau, terdapat aset bersejarah yang dimuliakan hingga kini, yakni Alkitab berbahasa Belanda yang ditulis pada September 1867. Alkitab ini bahkan berusia lebih tua dari bangunan gereja yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan.
Karena berusia tua, Alkitab ini disimpan di dalam kotak kaca dan tak bisa disentuh oleh jemaat. Beberapa bagiannya juga sudah sobek karena dimakan usia.
Menurut Imam Mubarok, terdapat satu benda lagi yang menjadi koleksi gereja merah, yakni lonceng. Namun sejak dipinjam oleh GPIB Malang sebagai tanda peribadatan, hingga kini lonceng tersebut tak pernah dikembalikan. “Padahal itu koleksi GPIB Kediri,” kata Imam.
Menjelang peringatan Natal sekaligus ulang tahun GPIB Immanuel ke-115 besok 21 Desember 2019, tempat ibadah ini tampak berbenah. Sejumlah pekerja sibuk membersihkan sisa material bangunan yang berserak di halaman. Menurut Hendrik, pengurus gereja sedang menyelesaikan pembangunan tempat peribadatan khusus anak di samping gereja. “Di samping bersih-bersih menjelang ulang tahun dan natal,” katanya.
Jadwal pelayanan di gereja merah sendiri cukup padat. Merujuk agenda kegiatan gereja yang diberikan Lorens Hendrik, terdapat beragam jenis pelayanan seperti ibadah syukur, persekutuan doa pagi, sakramen baptisan kudus anak, serta sakramen perjamuan kudus akhir tahun.
Sakramen baptisan kudus anak dijadwalkan pada hari kedua natal tanggal 26 Desember 2019 pukul 08.30 WIB. Jemaat yang hendak membaptiskan putra-putrinya bisa mengambil formulir pendaftaran hingga tanggal 15 Desember 2019.
Peribadatan di hari Natal biasanya dihadiri jemaat dari luar Kota Kediri. Selain beribadah, mereka bisa menikmati wisata sejarah religi yang tak banyak ditemukan di Jawa Timur.
Tak hanya jemaat, masyarakat luas juga diperkenankan melihat kemegahan gereja merah dan mengabadikan melalui kamera. Hanya saja aktivitas itu tak bisa dilakukan di dalam ruang peribadatan.
Menariknya, selain keberadaan gereja merah, terdapat empat bangunan cagar budaya lain yang berada di area tersebut. Tepat di sebelah selatan gereja berdiri megah bangunan rumah kuno milik Kolonel (Pur) Soerachmad. Rumah tersebut pernah menjadi tempat rapat perwira TNI AD, di antaranya Kolonel (Pur) Soerachmad dan Jendral (Purn) AH Nasution. Kolonel (Purn) Soerachmad tercatat sebagai Komandan Brigade S (Soerachmad) di Kediri sekaligus perintis pendirian Kodam se-Indonesia.
Gereja Merah melayani kunjungan masyarakat umum, sebagai destinasi wisata sejarah. Sementara para jemaatnya juga datang dari luar kota Kediri. TEMPO/Hari Tri Warsono
Rumah tersebut juga bersebelahan dengan Wisma Kapolresta Kediri yang juga diduga kuat merupakan cagar budaya. Dan berjarak 10 meter dari rumah itu, berdiri markas Kepolisian Resor Kediri Kota yang juga merupakan cagar budaya.
“Markas ini juga menghadap tepat jembatan lama yang menghubungkan wilayah barat dan timur Kota Kediri. Jembatan ini juga cagar budaya,” jelas Imam Mubarok.
HARI TRI WASONO