TEMPO.CO, Jakarta - Ann D’ Cruz reporter Atlas Obscura mengenang, saat berusia tujuh tahun, ia menyaksikan tiga wanita berpakaian sari, masing-masing memegang alu – kayu penumbuk lesung. Mereka dengan tangkas dan berirama menumbuk rempah-rempah dalam lesung kayu berbentuk piala. Isinya, cabai kering, yang melepaskan aroma pedas di udara.
Tumbukan kayu pada lesung dengan ritme teratur menciptakan irama hipnosis. Menumbuk berbagai rempah-rempah dalam lesung untuk membuat masala merupakan pemandangan yang lazim di Bombay – yang lebih dikenal sebagai Mumbai. Masalah adalah serbuk kering berwarna coklat kemerahan, yang biasanya disimpan dalam botol-botol kaca.
Ia dibuat 20 hingga lebih dari dari 30 bahan. Masala merupakan bumbu yang dibawa oleh komunitas India Timur — warga asli wilayah Konkan Utara di pantai barat India yang masuk agama Kristen. Minoritas ini secara resmi diakui sebagai "India Timur" oleh pemerintah pada tahun 1887.
"Ketika Inggris mengambil alih Bombay, penduduk asli Katolik di kota itu mengambil moniker India Timur untuk membedakan kami dari orang Kristen lain yang pindah ke kota," jelas Reena Pereira-Almeida, pencipta East India Memory Co (EIM) -- sebuah proyek yang mendokumentasikan sejarah dan budaya dalam kelompok-kelompok di India.
Menumbuk rempah untuk masala menciptakan keakraban dalam lingkungan keluarga India Timur. Foto: Atlas Obscura/Jude Albuquerque
"Seiring waktu, masakan, bahasa, pakaian, musik, dll, terjadilah asimilasi yang mencerminkan campuran pengaruh Maharashtrian, Portugis, dan Inggris," ujarnya.
Masala memberikan contoh perpaduan unik ini. Menurut pakar kuliner India, Chef Michael Swamy, prosedur menumbuk bumbu merupakan ciri warga Maharashtri, "Memadukan rempah-rempah kering adalah hal yang sangat Maharashtrian," katanya.
Tapi praktik menumbuk secara manual ini mulai langka. Para keluarga di India mulai seang membawa bumbu-bumbu itu ke pabrik, lalu membiarkan mesin penggiling bekerja untuk mereka. Namun, untuk koki rumahan di India Timur, botol masala tetap menjadi jantung koleksi rempah-rempah dapur mereka.
“Masala buatan rumahan memiliki aroma yang bersahaja dan berasap sangat halus,” kata Verna Texeira, seorang warga Brooklyn yang dibesarkan di Bombay. “Ini juga sangat serbaguna digunakan dengan daging, sayuran, atau ikan — dan mengubah rasa hidangan sesuai dengan apa yang Anda masak.”
Dalam The East Indian Cookery Book, pertama kali diterbitkan pada 1981 oleh The Bombay East Indian Association, masala masuk sebagai bumbu wajib dalam 34 resep, termasuk hidangan seperti bebek moile dan lonvas udang – terutama untuk kuliner dalam pesta.
“Makanan India Timur adalah mash-mash,” kata Swamy. “Orang-orang India tidak memakan makanan yang mengandung daging sebagai religi. Kemudian orang Portugis datang dan memperkenalkan makan daging, seperti babi, dan bahkan roti. ”
Masala yang dihaluskan dan diayak. Foto: Atlas Obscura/Jude Albuquerque
Sarpatel adalah contoh kuliner Portugis yang dibuat dengan daging babi dan masala. Keduanya merupakan perpaduan sempurna yang mewakili mewakili silang budaya Portugis-India. Namun, Mumbai adalah kota yang jarang memiliki restoran, sehingga berbagai resep kuliner hilang begitu saja karena ketidaktersediaan rempah-rempah.
Kelangkaan itu membuat masala dan hidangan India timur menjadi langka, dan tersimpan sebagai resep keluarga. Bahkan tiap keluarga dan subetnik membuat hidangan India Timur kian beragam – alias taka da patron pasti. Beberapa keluarga menggunakan kombinasi cabai. Lainnya menyukai cabai Kashmir, yang memberikan campuran warna merah marun. Penambahan umum lainnya adalah kunyit, lada hitam, biji fenugreek, biji wijen, biji poppy, gandum, pala, jinten, mugwort dan seterusnya.
Dari sisi antropologi, masala bukan sekadar bumbu. Saat gadis-gadis di India berkumpul di dapur lalu memisahkan cabai dengan tangkainya, di situlah komunikasi yang akrab terjalin antara ibu dan bibi mereka. Masala tidak dibuat dalam sehari, namun berhari-hari. Suasana “gotong royong” yang tercipta seperti suasana piknik.
Masala yang sudah halus dan disimpan dalam botol kaca. Foto: Atlas Obscura/Jude Albuquerque
Sama seperti keluarga besar di India Timur yang bersatu untuk musim pembuatan masala, kebiasaan itu juga terjadi di seberang laut. Warga India Timur di perantauan umumnya berkumpul untuk membuat masala dan kegiatan tradisi mereka yang lain. Masala adalah simbol pemersatu dan kekerabatan.
Saat rempah-rempah yang dipanggang hingga kering mendingin, para wanita berdiri melingkari okhli atau lesung seperti piala. Lalu mulai terdengar aba-aba, tumbuk, ayak, tumbuk, ayak berulang-ulang selama tiga hingga empat jam. Di situlah keakraban kian mendekam dalam hati sebagai satu keluarga.