TEMPO.CO, Malang - Wilayah cagar budaya di Provinsi Sulawesi Tengah sedang disiapkan menjadi warisan dunia UNESCO. Wilayah cagar budaya ini berintikan gabungan empat kawasan megalitik yang dinamakan Kawasan Megalitik Lore Lindu atau disingkat KMLL.
Luas wilayah cagar budaya itu 156.126 hektare dengan KMLL seluas 692 hektare. KMLL tersebut mencakup tiga lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten Poso, yang biasa disebut sebagai Lembah Lore Lindu, ditambah satu kawasan gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi.
Kawasan Megalitik Lore Lindu juga menjadi daerah penyangga kawasan Taman Nasional Lore Lindu(TNLL). Luas TNLL sekitar 215 ribu hektare yang lahannya terbentang di Poso dan Sigi—dulu Kabupaten Donggala sebelum Sigi jadi kabupaten.
Menurut, Ketua Unit Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo Romi Hidayat kepada Tempo, Rabu, 11 September 2019, pihaknya sedang menyiapkan naskah pengajuan KMLL sebagai Warisan Dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Secara spesifik, BPCB mengincar gelar warisan budaya dunia bagi KMLL.
Naskah ini ditargetkan rampung pada 2020. Menurut Romi, KMLL dapat menjadi warisan dunia UNESCO asalkan memenuhi minimal dua dari 10 kriteria nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) warisan dunia yang ditetapkan Komite Warisan Dunia UNESCO.
Nilai universal luar biasa mengandung makna penting dari segi budaya dan atau alam yang sangat luar biasa, sehingga melampaui batas nasional dan mempunyai nilai penting bagi generasi sekarang maupun mendatang dari semua umat manusia.
Enam dari 10 kriteria berlaku untuk kategori budaya dan empat kriteria untuk kategori alam. Enam kriteria untuk kategori budaya (1) mewakili suatu mahakarya kejeniusan kreatif manusia; (2) menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, dalam suatu rentang waktu atau dalam suatu kawasan budaya di dunia, dalam pengembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota atau desain lanskap.
Lalu, (3) memiliki keunikan atau sekurang-kurangnya pengakuan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih berlaku maupun yang telah hilang; (4) merupakan contoh luar biasa dari suatu jenis bangunan, arsitektural atau himpunan teknologi atau lanskap, yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia.
Kelima, merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia, tata-guna tanah, atau tata-guna kelautan yang menggambarkan interaksi budaya (atau berbagai budaya), atau interaksi manusia dengan lingkungannya, terutama ketika pemukiman tersebut menjadi rentan karena dampak perubahan yang menetap.
Keenam, secara langsung atau nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang berlaku, dengan gagasan, atau dengan keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai universal yang signifikan.
“Kami optimistis KMLL memenuhi beberapa kriteria itu, tapi semuanya masih dalam proses penyusunan naskah. Senyampang naskah disusun, tahun ini juga kami buat zonasi-zonasi atau semacam garis di KMLL yang membatasi areal situs cagar budaya yang dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan,” ujar Romi, arkeolog lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Penyusunan naskah dan pembuatan zonasi merupakan tindak lanjut dari hasil Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, September 2018. Delineasi berarti pemetaan kawasan yang bertujuan untuk menentukan garis batas ruang KMLL sebagai dasar pembentukan ruang pelestarian yang meliputi ruang pelindung, pengembang, dan pemanfaatan.
Dari kajian delineasi diketahui di dalam KMLL terdapat 118 situs atau lokasi yang berisi 2.007 tinggalan arkeologi. Tinggalan arkeologi ini bervariasi lebih dari 20 jenis. Tinggalan arkeologis yang ditemukan didominasi oleh tinggalan arkeologi Zaman Megalitikum atau zaman prasejarah alias zaman pra-abad Masehi.
Jenis arkeologi itu, antara lain, kalamba/tong batu atau stone-vats, dolmen (meja batu datar), menhir (batu tegak), dakon, lumpang, batu berlubang, tempayan kubur batu, peti kubur, batu berlubang, altar batu, umpak, dan jalan batu.
Selain tinggalan arkeologi itu, di KMLL juga ditemukan sebaran fragmen gerabah motif terakota dalam jumlah banyak di sejumlah lokasi. Menurut Romi, sebaran fragmen gerabah KMLL mengindikasikan adanya ruang aktivitas permukiman kuno di Lore Lindu, sekaligus menunjukkan kesinambungan aktivitas manusia dari zaman prasejarah ke zaman yang lebih muda.
Kesinambungan itu dicontohkan Romi dengan penggunaan umpak batu dan cobek batu oleh manusia modern Indonesia. Umpak batu masih ditemukan dipakai saat membangun rumah. Sedangkan cobek batu biasa digunakan saat membuat sambal.
“Temuan-temuan arkeologi di KMLL bukan sebuah kebetulan yang dibuat. Kemungkinan besar semuanya ada tujuan yang saling berkaitan. Masih banyak lagi teka-teki maupun misteri yang harus terus diteliti,” kata Romi.