TEMPO.CO, Yogyakarta - Menikmati cokelat tak melulu merasakan sensasi manis dan pahit. Variasi rasa yang ditambahkan pun bisa selain kacang mete, kacang kenari, karamel. Pendiri Chocolate Monggo, Thierry Detournay mengenalkan cokelat yang bercampur aneka rempah-rempah di dapur.
Baca: Cokelat Monggo, Cerita Orang Belgia Kangen Cokelat di Yogyakarta
"Ada nuansa Eropa dan Nusantara," kata Thierry Detournay di showroom dan pabrik Cokelat Monggo di Kotagede, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2019. Untuk rasa Eropa di antaranya cokelat marzipan, karamel, praline, juga mint.
Adapun cokelat dengan cita rasa Nusantara, seperti cokelat jahe, cabai, rendang, pala, kayu manis, hingga aneka rasa buah-buahan, yaitu stroberi, manga, durian. Tak ketinggalan rasa Asia, seperti yang lagi tren, rasa teh hijau.
Ada juga cokelat dengan sensasi rasa baru, yakni volcanic salt chocolate yang mengandung garam vulkanik dari pegunungan di Jawa Timur. "Kami terus membuat variasi rasa baru dalam cokelat," kata Thierry Detournay.
Sejak berdiri pada 2005, Cokelat Monggo memiliki 50 variasi rasa. Dari puluhan rasa itu, pelanggan lebih banyak menyukai cokelat praline, yakni cokelat yang dibuat dari kombinasi kacang mete dan hazelnut.
Suasana showroom Cokelat Monggo di Kampung Ndalem, Kotagede, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Thierry Detournay mengambil bahan baku cokelat dari para petani kakao di sejumlah daerah, seperti Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sulawesi Utara. Pasokan cokelat itu, menurut dia, belum mencukupi. Musababnya, produk cokelat untuk level premium memiliki komposisi cokelat yang lebih banyak, meliputi 58 persen, 69 persen, dan 77 persen white chocolate, milk chocolate, dan dark chocolate. "Jadi kami butuh biji cokelat yang banyak. Setidaknya untuk memproduksi tujuh ton cokelat per bulan," kata dia.
Selama ini, mayoritas biji kakao diambil dari Sulawesi Utara. Lambat laun, Thierry Detournay memaksimalkan kerja sama dengan petani sekitarnya, seperti Gunungkidul dan Kulon Progo. Mengingat pohon kakao tumbuh di dataran di atas 300-400 meter di atas permukaan laut.
Baca juga: Cara Diet Kantong Plastik ala Perusahaan Cokelat Asal Yogyakarta
Thierry Detournay kerap menghadapi persoalan karena biji-biji kakao yang dibeli dari para petani lokal belum memenuhi standar. Sebab, sebagian besar petani enggan melakukan proses fermentasi pada produknya. Fermentasi adalah proses kimia untuk menghasilkan lemak murni dari biji kakao. "Petani enggak mau repot. Maunya setelah biji kering lalu dijual," kata Thierry.
Kakao yang sudah kering setelah dijemur di Desa Gantarang Keke, Sulawesi Selatan, 8 Mei 2015. REUTERS/Yusuf Ahmad
Di sisi lain, biji kakao yang dijual tanpa fermentasi memang ada pasarnya, seperti untuk bahan pembuatan kosmetika maupun bubuk cokelat. Hanya saja, biji kakao yang dijual tanpa fermentasi dihargai lebih murah ketimbang fermentasi.
Untuk perbadingan, dalam 1 hektar lahan yang menghasilkan 500 kilogram biji kakao kering, maka harga jual kakao kering Rp 20 ribu per kilogram. Sedangkan kakao hasil fermentasi mencapai Rp 35 ribu sampai Rp 50 ribu per kilogram.