Welasono yang sudah 14 tahun terakhir jualan nasi gurih saat perayaan sekaten dan maulud itu mengatakan, menyantap nasi gurih kerap diidentikkan oleh masyarakat khususnya Yogya sebagai wujud rasa syukur dan untuk meminta keselamatan kepada Tuhan. Sehingga seringkali hidangan itu ditemui juga dalam berbagai upacara tradisi syukuran dan selamatan dalam budaya Jawa.
"Setelah prosesi kondur gangsa ada gerebeg maulud di Masjid Kauman, biasanya nasi gurih akan lebih laris karena lebih banyak orang datang untuk berebut gunungan grebeg," ujar Welas.
Penjaja bahan nginang yang berjualan di halaman masjid saat tradisi Kondur Gangsa di Masjid Gedhe Kauman Yogya pada Selasa, 20 November 2018 . Tempo/Pribadi Wicaksono
Selain nasi gurih, bahan nginang pun ikut diserbu warga. Nginang merupakan tradisi makan sirih. Bahan nginang ini kebanyakan dijajakan oleh perempuan lanjut usia yang menggelar dagangannya di atas bakul di depan halaman Masjid Kauman. Dengan harga hanya Rp 2.000 warga sudah bisa mendapatkan satu bahan nginang. Ada yang membeli karena memang akan digunakan nginang. Tapi ada pula yang membeli untuk kenang-kenangan atau atribut swafoto.
"Sudah lebih dari 30-an orang yang beli saat acara kondur gangsa belum dimulai," ujar Asnan, 81, perempuan asal Palbapang, Bantul yang berjualan bahan nginang di area Masjid Kauman. Bahan nginang yang dijual merupakan campuran atau ramuan dari tembakau, kapur, gambir, dan buah pinang.
Asnan menuturkan biasanya hanya berjualan bahan nginang itu saat digelar tradisi kondur gangsa dan grebeg maulud karena saat itulah Masjid Kauman lebih ramai dari hari biasanya. Bersama belasan perempuan lansia lain asal desanya, Asnan berjualan bahan nginang yang dibentuk menyerupai kerucut itu. "Ke sini (Masjid Kauman) naik bus bersama-sama," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO