"Naik sampan, Mbak, Mas." Seseorang tiba-tiba memanggil kami. Suaranya dari sela-sela kapal itu. Ada seorang bapak separuh baya menepi ke dermaga sambil mendayung sampan. Baru setelah mengobrol kami tahu bapak itu bernama Nurdin. Ia berusia hampir 70 tahun. Nurdin adalah warga Suku Bajo dari Bone, Sulawesi Selatan, yang menikah dengan perempuan Sunda. Ia hidup puluhan tahun di kampung Luar Batang.
Nurdin salah satu penyedia jasa naik sampan. Ia akan mengantarkan wisatawan hingga mendekati laut lepas dan menyusuri dermaga Sunda Kelapa yang panjang. Kami menerima tawarannya dengan negosiasi harga sewa kapal Rp 50 ribu untuk satu kapal.
Kapal itu cukup untuk 7-8 orang. Lebarnya hanya 1 meter. Saat kapal jalan, kami harus benar-benar menyeimbangan badan. Artinya, tak boleh bergerak terlalu berlebihan.
Kapal itu bergoyang ketika memecah gelombang. Sedikit ngeri rasanya. Kami berpikir, wisatawan yang naik sampan kudu jago berenang atau paling tidak punya nyali. Sebab, tak ada jaket pelampung di kapal tersebut.
Sepanjang menyusuri dermaga raksasa Sunda Kelapa, kami menyaksikan berderet kapal-kapal parkir. Juga, kampung-kampung nelayan yang habis terdampak relokasi oleh eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Matahari sore juga dapat dilihat jelas. Pelan-pelan ia luruh di antara gedung gergasi di tepi pelabuhan. Langit Sunda Kelapa pun memerah. Cahaya yang memantul ke laut memberi efek keemasan.Mirdan, salah seorang awak kapalsedang menjemur pakaiannya yang basah di kapalnya yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Rabu, 3 Oktober 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Puas 30 menit keliling dengan kapal sampan, kami lantas dibawa menuju tepi dermaga lagi. Namun, sebelum sampai, ada seorang nakhoda kapal menawari kami mampir ke kapalnya. Dia adalah Mirdan. Mirdan membawa kapal dari Riau menuju Jakarta. Kapalnya berisi sagu dan semen.
Di kapal Mirdan, kami dibiarkan keliling memasuki ruang kemudi, deck awak kapal, hingga ruang mesin. "Sini saya ajari navigasi," kata Mirdan. Ia menuntun menuju ruang kemudi. Diambilnya alat serupa teropong. Teropong itu berjarak pandang 7 kilometer. Di laut lepas, kapal lain dapat dipantau dengan alat tersebut.
Mirdan sudah sepekan menepi di Jakarta. Esok ia akan kembali ke Riau mengangkut logistik. Menjelang malam, kami pamit. Juga dengan Nurdin yang telah sudi mengajak kami keliling sisi perairan pelabuhan. Sore jelang malam, Sunda Kelapa terpotret rapi dalam ingatan, juga lensa-lensa kami.